MARS PMII

Inilah kami wahai Indonesia Satu barisan dan satu cita Pembela bangsa, penegak agama Tangan terkepal dan maju kemuka Habislah sudah masa yang suram Selesai sudah derita yang lama Bangsa yang jaya Islam yang benar Bangun tersentak dari bumiku subur *Reff : Denganmu PMII Pergerakanku Ilmu dan bakti, ku berikan Adil dan makmur kuperjuangkan Untukmu satu tanah airku Untukmu satu keyakinanku Inilah kami wahai Indonesia Satu angkatan dan satu jiwa Putera bangsa bebas meerdeka Tangan terkepal dan maju kemuka Denganmu PMII Pergerakanku Ilmu dan bakti, ku berikan Adil dan makmur kuperjuangkan Untukmu satu tanah airku Untukmu satu keyakinanku

Jumat, 25 November 2011

TEHNIK DAN MEKANISME PERSIDANGAN DALAM RTK (Rapat Tahunan Komisariat)

Oleh : Khoirun Abror

A.RTK

1.Pengertian
Rapat Tahunan Komisariat adalah forum musyawarah tertinggi ditingkat komisariat.
2.Fungsi
Regenerasi, reorientasi, reduksi, reorganisasi.
3.Wewenang
a.Menetapkan program kerja PK dalam rangka pelaksanaan program kerja umum dan kebijakan PMII ditingkat Komisariat.
b.Menilai LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) pengurus komisariat.
c.Memilih ketua umum dan tim formatur.
4.Tugas
a.Menyusun Strategi gerakan dan keorganisasian.
1.Pengurus komisariat
2.Formasi dan struktur
3.Job discription
b.Menyusun dan Menetapkan GBHO/GBPK
1.Orientasi
2.Tujuan
3.Visi dan misi
c.Pokok-pokok pikiran dan rekomendasi
1.Yuridis
2.Pengembangan kader
3.Manajerial organisasi
4.Pengkaderan
5.Administrative
6.Kajian dan pemberdayaan perempuan
7.Kajian keislaman

B.TEKNIK DAN MEKANISME PERSIDANGAN

1.Pengertian
Sidang adalah forum formal bagi pengambilan keputusan yang akan menjadi kebijakan dalam sebuah organisasi (berstruktur dan mempunyai susunan hierarkis) dengan diawali oleh konflik.
Rapat adalah forum yang bersifat formal bagi pengambilan kebijakan organisasi dalam bentuk keputusan, kesepakatan atau lainnya tanpa harus didahului oleh konflik.
Musyawarah adalah forum informal sebagai sarana pengambil keputusan, kesepakatan, penyebaran informasi atau lainnya dalam sebuah institusi tanpa harus didahului oleh konflik
2.Macam-macam
Sidang pleno
Sidang paripurna
Sidang komisi
Sidang sub komisi

3.Unsur-unsur
•Tempat dan ruang
•Waktu dan acara
•Perlengkapan
•Tatib
•Peserta
oPeserta Penuh
oPeserta Peninjau
•Presidium Sidang
4. Istilah-istilah dalam persidangan
QUORUM : jumlah tertentu orang yang hadir, sehingga sidang bisa dilaksanakan.
SKORS : Sidang sudah berjalan sesuai kuorum, di tengah jalan perlu berhenti untuk memberikan kesempatan pihak-pihak negosiasi/lobi.
NEGOSIASI : Proses tawar menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara pihak satu dengan pihak yang lain.
LOBI : Kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam kaitannya dengan perihal penting, misal pemungutan suara menjelang pemilihan ketua.
FLOOR / FORUM : Bisa tempat/suasana pertemuan untuk bertukar pendapat/peserta persidangan.
Musyawarah untuk mufakat : Pengambilan keputusan dengan cara kesepakatan bersama.
VOTING : Pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.
ONE MAN ONE VOTE : pengambilan keputusan satu orang satu suara
ONE DELEGATION ONE VOTE : pengambilan keputusan satu delegasi satu suara
AKLAMASI : Pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara.
INTERUPSI : Penyelaan Atau Pemotongan (Pembicaraan, Pidato Dls)
DEADLOCK : Sidang berhenti tanpa keputusan karena terjadi silang pendapat yang tajam.
CARETEKER : Seorang yang menerima mandat untuk menjalankan roda organisasi dalam waktu tertentu.
WALK OUT : keluar sidang dengan maksud dan tujuan untuk tidak menerima keputusan siding.
KEPUTUSAN : segala putusan yang telah ditetapkan {sesudah dipertimbangkan, dipikirkan, dsb} yang berkekuatan hukum ke dalam
KETETAPAN : Segala putusan yang mempunyai ketetapan hukum keluar dan ke dalam.
TEAM VERIFIKASI : Beberapa orang yang bertugas memeriksa laporan dengan kenyataan di lapangan.
LAPORAN DITERIMA : Laporan pertanggungjawaban yang setelah dinilai forum ternyata sesuai dan bisa diterima forum.
LAPORAN DIPERBAIKI : Laporan pertanggungjawaban yang setelah dinilai forum ternyata banyak ketidaksesuasian dan tidak bisa diterima forum dan akhirnya diberi kesepatan untuk mengevaluasi dan memperbaiknya.
LAPORAN DITERIMA DENGAN CATATAN : Laporan pertanggungjawaban yang setelah dinilai forum ternyata sesuai dan bisa diterima forum, namun dengan catatan yang mesti dipenuhi dalam tempo waktu tertentu.
KETUA DEMISIONER : Seorang ketua yang selesai mempertangungjjawabkan laporan, setelah diverifikasi lalu dinilai dan dinyatakan diterima, kemudian kuasa kepemimpinan dicabut.
KETUA TERPILIH : Seorang yang diajukan atau mengajukan diri menjadi ketua dengan memenuhi persyaratan, lalu dinyatakan menang baik lewat aklamasi, musyawarah untuk mufakat atau voting.
PANDANGAN UMUM : Pada umumnya diadakan dalam sidang, ini disampaikan wakil atau delegasi kelompok tertentu dalam menanggapi suatu pernyataan / pidato pertangungjawaban.
DELEGASI : Utusan dari kelompok yang mewakili dalam sidang. Contohnya Komisariat atau badan pengurus cabang.

5.Macam-macam interupsi
•Interupsi point of order (PO) : meminta kesempatan untuk bicara atau dipergunakan untuk memotong pembicaraan yang dianggap menyimpang dari masalah.
•Interupsi point of information (PI) : memberikan atau meminta penjelasan atas apa yang telah disampaikan.
•Interupsi point of clarification (PC) : meluruskan permasalahan agar penyimpangan tidak semakin menajam.
•Interupsi point of prevelage (PP) : tidak setuju atas pemojokan, penyinggungan persoalan pribadi.
6.Tambahan –tambahan yang biasa dipakai juga dalam persidangan
•Point of Clearen. Dikatakan dan terjadi jika yang akan diajukan untuk meluruskan masalah ketika persoalan mengenai persoalan point personal privilage/menyangkut pribadi
•Point of Solution (PS) Dikatakan dan terjadi jika yang akan diajukan untuk menyampaikan atau menawarkan suatu solusi
•Point of Justification (PJ) Dikatakan dan terjadi jika yang akan diajukan untuk menguatkan pendapat sebelumnya
•Peninjauan Kembali. Dikatakan dan terjadi jika yang akan diajukan untuk peninjauan kembali terhadap draf yag sudah disepakati sebelum disahkan.
7.Penggunaan palu dalam rapat
Dalam rapat, penggunaan palu sangat penting sekali, pimpinan rapat harus memahami tata cara penggunaan palu. Karena, kesalahan penggunaan atau pengetukan palu sidang akan mengacaukan situasi sidang.
Macam-macam penggunaan palu rapat :
1 kali ketukan berarti : Mengesahkan hasil rapat, Pengalihan/pergantian palu siding
2 kali ketukan untuk Skorsing
3 kaliketukan : Pembukaan rapat, Penutupan rapat
Berkali-kali sedang Peringatan atau meminta perhatian peserta rapat.


To be context discovery…







*) Departemen Kajian dan Hubungan Lintas Agama PC PMII Purworejo
Sekertaris Umum PK PMII Ahmad Dahlan 2010/2011

Rabu, 23 November 2011

MEMAHAMI SEJARAH DAN MAKNA FILOSOFIS PMII

ø Historisitas PMII

PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
¨ Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
¨ PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
¨ PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
¨ Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
¨ Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.

Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila.

ø Identitas dan citra diri PMII

APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata 'PMII', yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan dengan label 'Pergerakan' yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
(1) Bertaqwa kepada Allah swt
(2) Berbudi luhur
(3) Berilmu
(4) Cakap, dan
(5) Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.

Kata 'Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia' jika diudar lebih lanjut adalah:
1. Pergerakan bisa didefinisikan sebagai 'lalu-lintas gerak', gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi 'Pergerakan' melampaui 'gerak' itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya, pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalaam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan.
Kenapa 'Pergerakan' bukan 'Perhimpunan'?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, 'pergerakan' bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
2. Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai 'wakil' rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll
3. Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama'ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja --dengan varian didalamnya-- sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
4. Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata 'Indonesia' pada organisasi ini, tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo' mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)

Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia, yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung) juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/Indonesia, Islam Indonesia adalah Islam lokal --bukan Islam Arab secara persis--, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang 'bersinkretisme' dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran aswaja.

Kesimpulaan:
Identitas PMII adalah Keislaman dan Keindonesia (kebangsaan)
Kata Kunci: Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia

ø Seputar ideologi PMII

Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual 'kiri' Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai 'wadah' atau 'tempat' kebenaraan atau bahkan sebagai 'sumber' kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar) makanya tidak terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi ada tidak bebas dari kepentingan --prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti punya maksud dan tujuan--, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuaan 'hanya kekuasaan' misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya --yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai identitas PMII-- yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun azasi di PMII atau itu tadi yang disebut... Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.

Jadi kesimpulaan yang bisa diambil adalah:
(1) Ideologi masih relevan dijadikan sebagai rujukan kebenaran
(2) Ideologi PMII terangkum (terwujud) dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan sublimasi keislaman dan keindonesiaan

ø Landasan Teologis dan Filosofis PMII

Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks ----atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition--- menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap lingkungan besarnya, "Indonesia". Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Endingnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.

Kesimpulan:
1. Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
2. Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
3. Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya identitas personal dan kelembagaan yang ulil albab.


CITRA DIRI MAHLUK ULUL ALBAB
Kader PMII Dapat Mewujudkan:
TRI MOTTO: DZIKIR FIKIR AMAL SHOLEH
TRI KHIDMAD: TAQWA INTELEKTUAL PROFESIONAL
TRI KOMITMEN: KEBENARAN KEJUJURAN KEADILAN

Mahasiswa UMP ikuti MAPABA PMII Komisariat STAINU

Sebanyak 14 Mahasiswa UMP pada Jum'at sampai Ahad, 18-20 November lalu mengikuti MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru) PMII yang diselenggarakan oleh PMII KOmisariat STAINU Purworejo. Acara ini bertempat di Gedung NU Ranting Kroyo, Desa Kroyo Kecamatan Gebang Purworejo. Peserta pada MAPABA kali ini cukup banyak, yaitu total 27 calon anggota. Bahkan salah satu dari merea adalah mahasiswa dari STIE Rajawali Purworejo.
Pembukaan MAPABA dilaksanakan pada Jum'at pukul 18.30 dan antara lain dihadiri oleh Pengurus Cabang PMII Purworejo, alumni, PK PMII Ahmad Dahlan, PK PMII An-Nawawi dan segenap tamu undangan. Pembukaan berlangsung hidmah, diawali dengan pembukaan, pembacaan alqur'an, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars PMII dan dilanjutan sambutan-sambutan. Sambutan panitia mengawalinya diteruskan sambutan dari PK PMII STAINU yang dalam hal ini oleh Ketua Umumnya Sahabat Anis Fahmi, Ketum PC PMII Purworejo Sahabat ahmad Chusnaini dalam sambutannya mengulas tentang pentingnya pengkaderan dalam tubuh PMII. MAPABA dibuka secara resmi oleh Sahabat Basuki Rahmat yang merupakan alumni PC PMII Purworejo dan sekaligus Ketum PMII STAINU periode pertama.
materi ANDIR (Analisis Diri) mengawali rangkaian materi-materi yang dihidangkan dalam MAPABA tersebut. dilanjutkan sampai pada proses pembaiatan dan penutupan.
Dari ke 14 mahasiswa UMP yang nantinya akan bergabung sebagai Anggota PMII Ahmad Dahlan ini terdiri dari berbagai macam Program Studi yang berbeda...
SEMOGA MENJADI KADER YANG BERGUNA BAGI DIRI, KELUARGA, AGAMA BANGSA DAN NEGARA AMIN.

ANTROPOLOGI KAMPUS

Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).

A. Abstraksi
Kampus boleh dikatakan miniatur negara. Di dalamnya ada politik dan budaya yang bermacam-macam. Kampus tidak dapat difahami hanya sebagai gelanggang akademis dan ilmu pengetahuan, karena nyatanya memang tidak demikian. Kampus terlibat dalam proyek dan pembangunan melalui pemberian legitimasi ‘ilmiah’. Terlebih ketika kampus-kampus negeri mulai berstatus BHMN.
Sementara mahasiswa memiliki tipologi yang beragam, dari mahasiswa religius, hedonis, aktivis, study-oriented dan lain sebagainya. Sebagai sebuah gelanggang semi terbuka, kampus merupakan tempat potensial bagi kader PMII untuk mengasah mental dan pengalaman kepemimpinan melalui pengenalan mendalam terhadap kehidupan nyata kampus.

B. Kampus dan Norma Kampus
1. Pengertian Kampus
Kampus, berasal dari bahasa Latin; campus yang berarti “lapangan luas”, “tegal”. Dalam pengertian modern, kampus berarti, sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi. Kampus merupakan tempat belajar-mengajar berlangsungnya misi dan fungsi perguruan tinggi. Dalam rangka menjaga kelancaran fungsi-fungsi tersebut, Ubaya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat), memerlukan penyatuan waktu kegiatan beserta ketentuan-ketentuan di dalam kampus.
Dalam hubungannya dengan mahasiswa, rektorat membentuk sistem yang mengatur posisinya dengan mahasiswa, dari mulai stuktural, birokrasi sampai kepada norma-norma yang diciptakan sesuai dengan kondisi sosial yang ada, misalnya pada kampus berlatar Islam tentunya ada adat-adat yang harus bernafaskan Islam, dsb. Dan, begitu pula halnya pada hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa.
2. Norma Akademik (Etika Kampus)
Norma akademik adalah ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati oleh seluruh mahasiswa Ubaya berkaitan dengan aktivitas akademik. Adapun tujuan norma akademik adalah agar para mahasiswa mempunyai gambaran yang jelas tentang hal-hal yang perlu dan/seharusnya dilakukan dalam menghadapi kemungkinan timbulnya permasalahan baik masalah-masalah akademik maupun masalah-masalah non akademik.
Masalah akademik adalah masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan kurikuler, Masalah non akademik adalah masalah yang terkait dengan kegiatan non kurikuler. Sedangkan Pelanggaran adalah perilaku atau perbuatan, ucapan, tulisan yang bertentangan dengan norma dan etika kampus. Etika kampus adalah ketentuan atau peraturan yang mengatur perilaku/atau tata krama yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa Ubaya. Etika kampus meliputi 2 hal penting yaitu ketertiban dan tata karma.
Setiap lembaga pendidikan atau kampus biasanya mempunyai menentukan norma akademik (etika kampus) masing-masing sesuai dengan status kampusnya, misalnya, kampus negeri umum yang menginduk ke Dirjen Dikti Diknas RI, di samping terikat oleh aturan yang dibuat oleh Dirjen Dikti tersebut. Demikian juga kampus yang dalam koordinasi Dirjen Dikti Agama Islam Depag seperti kampus UIN, IAIN dan STAIN, juga mengikuti aturan ketentuan norma akademik yang dibuat oleh Depag. Sama halnya dengan kampus swasta milik NU seperti UWH atau STAINU yang berada dalam koordinasi APTINU (Asosiasi Perguruan Tinggi NU) juga mengikuti aturan norma akademik diatur oleh APTINU, di samping juga mengikuti aturan Dirjen Dikti dan aturan internal kampus yang biasanya disusun oleh pimpinan kampus.
Dalam kehidupan perkuliahan, mahasiswa cenderung memiliki sikap aktualisasi dan apresiatif. Yakni sikap atau tindakan unjuk kemampuan dan kehebatan sesuai bakat serta karakter pribadinya masing-masing. Hal ini merupakan sisi positif yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Sehingga diperlukan adanya sebuah sarana dan prasarana dalam menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka dan nantinya diharapkan menjadi suatu hal yang produktif dalam meningkatkan pembangunan dan pendidikan negeri ini. Aktualisasi ini bisa berupa bidang olahraga dan seni, kepemimpinan, religi, hingga dana usaha yang mendukung perekonomian kampus menuju kampus yang mandiri. Sumber daya ini begitu sia-sia ketika pihak birokrat kampus tidak memanfaatkannya dengan baik, bahkan melakukan tindakan ‘pembunuhan karakter’ kepada mahasiswa. Padahal SDM seperti inilah yang nantinya mampu melakukan akselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paling tidak, negara secara tidak langsung diuntungkan dengan berbagai macam potensi anak-anak bangsa yang artinya kaya dengan SDM.

C. Tipologi Mahasiswa
Ada kampus pasti ada civitas akademika, baik rektor, pembantu rektor, dekan, dosen, pegawai, dan mahasiswa. Semua civitas akademika tersebut satu sama lainnya saling terkait. Mahasiswa sebagai komponen utama (karena jumlahnya lebih banyak ketimbang yang lainnya) sangat penting duperhatikan bagi denyut nadi kampus. Mahasiswa datang dari berbagai penjuru daerah tentu mempunyai latar belakang dan karakter yang berbeda-beda.
Sebagai mahasiswa, mayoritas anggota baru PMII perlu memahami berbagai jenis tipologi mahasiswa, dan kira-kira ingin menampatkan dirinya dalam tipe seperti apa. Kita meconba melakukan klasifikasi atas tipologi mahasiswa, walau ini tidak bersifat paten karena setiap diri kita bisa membuat tipologi sesuai dengan yang kita lihat dan rasakan. Anda sendiri bisa memegang dua katagori atau tiga bahkan empat sekaligus dari tipologi yang kitra susun ini. Bahkan mungkin masih membuka munculnya jenis tipologi lainnya. Yang penting semoga Anda bisa berguna bagi diri Anda sendiri dan bagi orang lain dalam lingkungan kehidupan keluarga, organisasi dan masyarakat.
1. Mahasiswa Pemimpin
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu terlihat mencolok dan aktif dibandingkan mahasiswa lainnya. Hidupnya di perkuliahan sangat bervariatif –diisi dengan berbagai kegiatan, dan ia tidak hanya belajar dari kuliah semata, namun juga belajar dari lingkungan. Ia akan aktifg di organisasi, baik intra maupun ektra kampus. Biasanya –tapi tidak mengikat- tipe mahasiswa seperti ini tidak memiliki keinginan yang besar untuk lulus terlalu cepat, karena ia mencari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin di masa depan. Cita-citanya, biasanya ingin menjadi pemimpin perusahaan, lurah, bupati, DPR, menteri, bahkan presiden.
2. Mahasiswa Pemikir
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu berpikir dan terus berpikir. Hobinya membaca buku, diskusi dan menulis. Terkadang orang jenis ini –karena terus belajar- tanpa menghiraukan sekitarnya, agar bisa mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkannya. Biasanya tipe mahasiswa seperti ini jika telah lulus ingin jadi ilmuwan, peneliti, dosen atau akademisi.
3. Mahasiswa Study Oriented
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu rajin masuk kuliah dan melaksanakan tugas-tugas akademik. Mahasiswa jenis ini tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di kampus. Pokoknya yang penting mendapatkan nilai bagus dan cepat lulus.
4. Mahasiswa Hedonis
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, tidak mau aktif di organisasi. Ia selalu menjalani kehidupan dengan hedonis, glamour, dan happy-happy. Kalau ke kampus sering memakai pakaian yang norak, memakai mobil, dan nongkorong di mall, kafe, dan tempat hiburan lainnya.
5. Mahasiswa Agamis
Tipikal mahasiswa seperti ini kemana-mana selalu membawa al-Qur’an, berpakaian ala orang Arab, tampil (sok) islami, menjaga jarak terhadap lain jenis yang tidak muhrim.
6. Mahasiswa K3 (Kampus, Kos dan Kampung)
Tipikal mahasiswa seperti ini kesibukanya hanya K3, yaitu kampus, kos dan kampung. Kalau tiba jam kuliah ya berangkat kuliah, kalau selesai pulang kos, atau ada waktu cukup pulang kampung.
7. Mahasiswa Santai Semaunya Sendiri
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, selalu menjalani kehidupan apa adanya. Enjoy aja! Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini aktif di bidang seni dan olahraga. Dia tidak terlalu memikirkan kuliah, karena yang penting dalam hidupnya adalah santai. Biasanya mahasiswa seperti ini lama sekali lulusnya, karena nilainya juga santai.
8. Mahasiswa Mencari Cinta
Tipikal mahasiswa seperti ini tiada terlalu memikirkan kuliah, tetapi yang dipikirkannya adalah CINTA. Yang penting baginya adalah mendapatkan pacar yang setia. Lulus kuliah cepet-cepet menikah.
9. Mahasiswa Jomblo Unsold
Tipe mahasiswa seperti ini terkadang dianggap terlalu menyedihkan, karena tiada laku-laku (unsold). Tapi terkadang mahasiswa memilih jomblo bukan karena tidak laku, tetapi karena ia memang tidak ingin berpacaran demi meraih cita-citanya di masa depan.
10. Mahasiswa Usil
Tipikal mahasiswa seperti ini sangat senang apabila orang lain menderita. Contohnya sebelum dosen masuk kelas, ia akan mengganti kursi dosen dengan kursi yang rusak biar dosennya patah tulang, atau sebelum dosen masuk, ia menulis kertas di pintu kelas bahwa perkuliahan di kelas hari ini dibatalkan.
11. Mahasiswa Tak Jelas
Tipikal mahasiswa seperti ini tak bisa dikategorikan, karena terkadang ia seperti pemimpin, terkadang seniman, terkadang pemikir, terkadang santai, terkadang pecinta, terkadang usil, dll. Terkadang aktif keliatan terus, terkadang lenyap hilang entah ke mana.
12. Mahasiswa Anak Mami
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu pulang di akhir pekan, takut kalau mamanya marah. Ia kuliah demi menyenangkan hati maminya. Kebanyakan tipikal seperti ini tidak menikmati perkuliahannya, karena jurusan perkuliahannya itu pilihan dari sang ibunda, bukan dari kehendak hatinya. Kebanyakan tipe kuliah seperti ini putus di tengah jalan, tetapi semoga kamu tidak!
13. Mahasiswa Apa Mahasiswi
Sudah jelas sekali bahwa tipikal mahasiswa seperti ini memiliki dua kepribadian, yang pertama wanita yang kedua pria. Orang-orang biasa menyebutnya banci, tidak punya karakter yang jelas.
14. Mahasiswa Gadungan
Tipe ini sebenarnya bukan mahasiswa, tetapi karena ingin terlihat seperti mahasiswa, maka ia sering nongkrong-nongkrong di kampus orang. Biasanya ia punya tujuan tertentu, seperti mencari seorang cewek idaman atau mau memasang bom di kampus orang.
15. Mahasiswa Monitor
Mahasiswa seperti ini selalu berhadapan dengan komputer, sampai-sampai mukanya sudah berevolusi seperti monitor. Matanya sudah sebesar mouse, dan rambutnya sudah tak terurus seperti kabel USB atau RJ-45. Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini hobi chatting dan mendapatkan kebutuhannya dari internet. Tetapi mahasiswa seperti ini bagus juga, karena ia tak bakal ketinggalan zaman deh.
16. Mahasiswa Abadi
Jelas, mahasiswa jenis ini paling betah di kampus, yang di kuliahnya di atas semester 10 tapi masih santai-santai dan belum mikir lulus.

D. UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Nasib Rakyat
Sejak disahkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Rencana BHMN Perguruan Tinggi Negeri, lalu direalisasikan dengan PP BHMN kampus UI, ITB, IPB, UGM, UPI, USU, dan UNAIR. Sebagian besar mahasiswa, praktisi, dan pengamat pendidikan secara tegas sudah menolaknya. Kampus-kampus ini kemudian mendapatkan bantuan dana dari lembaga donor seperti Islamic Development Bank (IDB) untuk membangun kampus yang megah dengan fasilitas yang diperlengkap dan dipercanggih. Banyak gedung baru berdiri megah yang meliputi gedung-gedung kuliah, sport hall, asrama mahasiswa, pusat informasi universitas, masjid, poliklinik, gedung pascasarjana, dan bahkan ada yang membangun gedung pusat bisnis (business centre). Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas kuliah secara besar-besaran oleh kampus-kampus itu disebut-sebut oleh para pejabat universitas sebagai istilah modenisasi kampus. Sebagai kampus yang menginginkan good governance, ketersediaan dan kelayakan fasilitas menjadi sebuah syarat mutlak, ditambah fungsi profesionalisme pelayanan dan birokrasi, serta akuntabilitas dan transparasi kebijakan.
Penolakan kembali muncul ketika Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan. Penolakan itu adalah sikap dan bukti kepedulian terhadap masyarakat miskin yang akan menjadi korban yang kemudian semakin teralienasi dan termarjinalisasi oleh sistem. Sehingga, UU BHP memicu kontroversi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, undang-undang ini dipandang dapat menjadi penaung spirit otonomi yang selama ini diinginkan oleh dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Namun di sisi lain, banyak pihak khawatir undang-undang ini justeru akan mendorong terjadinya praktek komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.
Tanpa bermaksud mencederai spirit otonomisasi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terkandung dalam UU BHP dan menisbikan kekhawatiran akan timbulnya komersialisasi-liberatif di tubuh lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Benarkah spirit otonomisasi dalam UU BHP ini dimaksudkan untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945 (sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf a) atau justeru mendelegitimasi (tidak mengakui) hak-hak konstitutional warga negara terutama kalangan tidak mampu (disadvantaged groups) dan terpinggirkan (marginalized groups) untuk mengenyam pendidikan yang dijamin dalam UUD 1945?
Bahasa lain dari UU BHP adalah liberalisasi pendidikan. Hal yang paling tampak dari liberalisasi pendidikan adalah semakin terbukanya peluang bagi peran-peran swasta terutama perusahan-perusahaan korporasi baik lokal maupun asing untuk ikut mengelola pendidikan. Maka, tidak aneh kalau di dalam kampus itu muncul banyak unit-unit usaha yang didanai oleh perusahaan swasta, misalnya berdirinya mal di kampus atau unit usaha lainnya yang sejenis, semakin banyaknya projek penelitian, pengadaan teknologi internet, dan lain-lain yang sangat akrab dengan uang.
Selain itu, liberalisasi pendidikan telah menyuguhkan watak glamor di dunia kampus. Geliat pembangunan kampus bukanlah berangkat dari kebutuhan untuk penyediaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan seperti yang diharuskan dalam konstitusi, tetapi lebih berorientasi pada tuntutan neoliberal, yakni tuntutan bisnis. Bisnis itu membutuhkan kerelaan untuk mengakomodasi budaya baru yang diciptakan neoliberalisme.
Gagasan liberalisasi pendidikan lahir dari teori modernisasi yang telah dipraktikkan di negara-negara bersistem kapitalis, di mana negara mengakui bahwa negara berjalan linear dari tradisional menuju ke arah modernisasi. Oleh beberapa pemikir, modernisasi ini dicapai dengan beberapa cara, Harrod Domar menekankan aspek ekonomi dengan teori tabungan dan investasi, di mana pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi.
Dari situ jelas ada kecenderungan negara melepas tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, telah berdampak makin sulitnya orang miskin untuk mengakses pendidikan tinggi karena tidak kuat bayar. Menurut Darmaningtyas (2009), ada beberapa alasan mengapa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam pengelolaan pendidikan dan menyerahkan ke publik. Pertama, adanya tekanan dari IMF untuk mengurangi subsidi bidang pendidikan maupun kesehatan. Kedua, perubahan cara pandang negara terhadap pendidikan dari sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap warga menjadi sebuah kapital yang dapat diperdagangkan dan menguntungkan.
Apa dampak dari UU BHP tersebut? Akibat kebijakan itu, sudah menjadi rahasia umum kalau biaya pendidikan semakin mahal. Tentu saja akan membuat beaya kuliah lebih mahal akan sangat merugikan rakyat. Padahal dalam UUD 45 dinyatakan bahwa negara berkewajiban memberikan pendidikan yang layak kepada warga negara. Ditambah lagi dengan dibukanya jalur-jalur khusus di luar SPMB dan PMDK atau jalur mandiri universitas. Wacana jual beli pendidikan pun merebak di mahasiswa. Namun, wacana itu terus mengempis seiring dengan semakin mapannya diskursus modernisasi. Mahasiswa seakan tidak boleh lari dari arus itu.
Dengan fasilitas yang lebih lengkap dan canggih, serta regulasi-regulasi baru, semakin dijadikan pembenaran atas terciptanya kultur kosmetik di kampus. Sebuah kultur yang semakin menambah deret kelam modernisasi. Apakah itu? Yang sangat konkret dapat kita lihat dari mode dan tren budaya teranyar yang dikenakan mahasiswa baru. Budaya itu meliputi orientasi, SDM, serta tindakan ekonomi. Mahasiswa, misalnya, sebagian ada yang menjadikan kuliah sekadar untuk prestise, atau kongkow-kongkow mencari teman, atau pamer pakaian dengan model terbaru. Di kalangan aktivis, budaya glamor juga ditunjukkan dengan semakin banyaknya rapat-rapat aktivis di hotel, kafe, atau restoran bersama para elite politik atau bahkan dengan pengambil kebijakan. Dengan kesejatian realitas itu, apakah kita masih optimistis dengan modernisasi kampus? Di situlah kritik kita terhadap dampak UU BHP.

E. Kampus sebagai Miniatur Negara
Kampus adalah miniatur negara. Tentu hal ini tidaklah berlebihan, kita bisa melihat dari segi penyebaran mahasiswa, kampus menghadirkan peserta didik dari berbagai unsur suku, ras dan agama yang ada di negara ini. Dari segi intelektualitas, kampus juga menghadirkan ribuan calon pemimpin yang akan mengisi kursi-kursi kosong kepemimpinan bangsa ini. Bisa diibaratkan, kampus adalah ruang kaderisasi bangsa. Masa depan nasib bangsa ditentukan oleh kampus karena di situlah banyak dididik berbagai pengetahuan dan skil (termasuk karakter dan mentalitas) generasi muda bangsa yang kelak menjadi pemimpin di tengah –tengah masyarakat.
Sebagai miniatur negara yang dimana didalamnya terdapat banyak perangkat yang satu sama lain saling mendukung, maka di dalam kampus juga memiliki pemerintahan dan rakyat, baik itu antara rektorat dengan mahasiswa ataupun antara mahasiswa dengan mahasiswa. Oleh karenanya, kita akan menemukan berbagai kelompok yang ada akan selalu bertaruh dalam memperebutkan eksistensinya di dalam kampus. Dari level rektorat, dekanat, dosen, pegawai akademik, mahasiswa hingga tukang sapu akan terlibat dalam arena perebutan kekuasaan. Bisa dikatakan kampus adalah miniatur basis produksi, distribusi dan pertarungan negara.
Benturan-benturan ideologi antar gerakan mahasiswa pun akan terjadi di kampus sehingga menjadikan kehidupan kampus menjadi sangat kondusif bagi kontentasi semua kelompok sehingga keberadaannya akan merepresentasikan iklim demokrasi di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan mendasar di negara ini juga berangkat dari komunitas-komunitas intelektual kampus. Hal inilah yang kemudian melabelisasi kampus sebagai laboratorium demokrasi Indonesia.
Sistem pemerintahan dibangun berdasarkan kebutuhan dimasing-masing kampus. Keberadaan BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) atau Senat Mahasiswa dengan menempatkan Presiden Mahasiswa-nya (Presma) atau istilah lain (karena tiap kampus berbeda) sebagai mahasiswa nomor satu di kampus adalah salah satu cerminan dari penataan sebuah kehidupan (kampus). Maka, sangat tidak menarik apabila sebuah kampus hanyalah dijadikan tempat perkuliahan, kalau begitu apa bedanya dengan SD, SMP ataupun SMA? Berarti mahasiswa akan semakin jauh dengan hal-hal yang bersifat sosial, kondisi real yang akan di hadapi oleh mahasiswa selepas kuliah. Semangat ini pula yang kemudian dimaknai oleh gerakan mahasiswa sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka dengan ikut aktif berpartisipasi dalam, misalnya, PEMIWA (Pemilu Mahasiswa, atau istilah lainnya), untuk memilih pemimpin kampus (BEM/DEMA/SEMA). Pemiwa akan menjadi momentum mengakselerasi perubahan-perubahan yang dianggap penting oleh gerakan mahasiswa dengan segala karakteristik perjuangannya.
Saat ini, sistem Pemiwa di beberapa kampus dilakukan dengan pemilihan langsung. Ada di antaranya dengan cara mengharuskan mahasiswa membentuk partai mahasiswa sebagai kendaraan politik untuk mengajukan calon-calon mereka duduk di lembaga eksekutif atau lembaga legislatif mahasiswa (BEM/DEMA/SEMA/DPM). Partai mahasiswa yang diharapkan merupakan representasi dari kepentingan-kepentingan komunal mahasiswa yang harus diperjuangkan.
Partai mahasiswa tidak sekadar menjadi syarat administratif untuk bisa berpartisipasi dalam Pemiwa yang hadir ketika Pemiwa akan berlangsung, tetapi juga bisa menjalankan fungsi-fungsi partai yang seharusnya untuk memberikan pendidikan dan pencerdasan politik bagi mahasiswa umum sebagaimana tertuang dalam AD/ART partai mahasiswa. Mereka yang terpilih sebagai pimpinan BEM/DEMA/SEMA/DPM harus bisa merepresentasikan kepentingan mahasiswa umum sebagai konstituen di suatu daerah pemilihannya (biasanya tiap fakultas atau jurusan). Jangan sampai ketidakprofesional pimpinan lembaga intra kampus membuat mahasiswa jenuh terhadap sistem yang berlangsung di kampus. Karena itu, perlu adanya dinamisasi sistem dengan membuka ruang kesempatan bagi siapa saja untuk berpatisipasi dalam pengembangan kehidupan lembaga intra kampus.
Sebagai miniatur negara, di samping berisi lembaga politik intra kampus, juga terdapat berbagai lembaga pengembangan bakat minat yang dikenal Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti lembaga penerbitan, lembaga olahraga, lembaga seni budaya, lembaga bahasa, lembaga pecinta alam, lembaga perekonomian koperasi mahasiswa, dan lain-lain. Keberadaan Pers Mahasiswa menjadi pelengkap yang ikut mencerminkan sebuah Negara (miniatur negara). Pers bisa melakukan kritik dan pencerdasaan mahasiswa dengan wacana dan informasi yang disampaikan. Atas berbagai komponen dan dinamisasi yang ada tersebut itulah maka kehidupan kampus sepenuhnya bukan hanya terpaku pada kegiatan akademik, seperti perkuliahan ataupun aplikasi-aplikasi lain yang berkaitan dengan kuliah.
Adanya demonstrasi ataupun perebutan kekuasaan di kampus bukanlah hal yang harus dipertentangkan, karena dengan adanya dinamika seperti itu mencerminkan bahwa mahasiswa peka terhadap berbagai realitas yang ada. Mahasiswa tidak harus manut-manut di hadapan dosennya walaupun ada kesalahan dalam kinerja sang dosen. Mahasiswa tidak mesti berdiam diri ketika melihat ataupun mendengar sebuah ketidak beresan dalam lingkungannya. Demonstrasi atas kenaikan BBM, tarif dasar listrik, dll adalah bukti bahwa Mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat.
Kampus yang dikenal sebagai miniatur negara, merupakan tempat berkumpulnya pemuda dari pelosok daerah dengan segala perbedaan dan bentuk sosial, tentunya juga beragam potensi. Ketimpangan sosial yang terjadi dalam kampus adalah cerminan dari kesenjangan sosial di masyarakat. Berhasil tidaknya ideologi yang diterapkan negara dapat dilihat di kampus. Begitu juga ketika kita harus mensensus seberapa besar kepedulian masyarakat terhadap kondisi negara, maka lihatlah di kampus kita masing-masing, sejauh apa mahasiswa turut andil dalam dinamisasi pergerakan lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa yang dikatakan sebagai sumber cadangan pemimpin masa depan bangsanya, kini menjadi tumpuan masyarakat dalam pengolahan dan manajemen kekayaan negara. Tidak hanya itu, tanggung jawab penuh juga diserahkan kepada mahasiswa dalam melakukan pengawasan jalannya roda pemerintahan. Karena disamping fungsi kontrol dan pressure terhadap pemerintah, mahasiswa tentunya dituntut mampu memberikan solusi dari berbagai permasalahan bangsa.
Dewasa ini, keberadaan lembaga intra kampus seolah-olah meredup seiring mulai stabilnya kondisi pemerintahan secara struktural. Nyatanya di lapangan masih saja terdapat kesenjangan sosial yang terjadi di tingkatan masyarakat umum, seperti data yang di laporkan oleh MenkoKesra Aburizal Bakrie tahun 2006 lalu yang menunjukkan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita dibawah Rp. 500.000,-, yang dengan anggaran tersebut mereka harus mampu menghidupi keluarga serta kebutuhan hidup lainnya.
Meskipun lembaga kemahasiswaan tidak memiliki wewenang khusus dalam menangani masalah ini namun perlu disadari bahwa lembaga inilah yang nantinya berperan dalam mengelola potensi SDM dalam memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat. Untuk itu, lembaga-lembaga ini perlu sekiranya mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dan birokrat kampus khususnya oleh mahasiswanya sendiri. Paling tidak bentuk perhatiannya bisa berupa pemberian fasilitas yang mendukung dan diserahkan sepenuhnya terkait pengelolaan kepada mahasiswa. Hingga berupa pembinaan secara intensif terkait hal-hal yang dianggap mampu menunjang peningkatan skills mahasiswa. Karena dikhawatirkan ketika hal ini tidak dilakukan akan terjadi “Lost Generation”, akhirnya menyebabkan stagnasi gerakan mahasiswa. Dimana saat pemain veteran sudah meninggalkan dunia kampus, akhirnya tidak ada yang meneruskan perjuangan perubahan oleh mahasiswa baik dalam struktural maupun olah pemikiran.
Bagaimana mungkin dinamisasi kampus akan terjadi tanpa adanya peran aktif dari mahasiswa. Sementara lembaga ini didirikan dan difasilitasi untuk mahasiswa,ironisnya justru mahasiswa yang buta dalam pengelolaan lembaga ini, kelak akan menjadi fenomena gerakan mahasiswa khususnya internal kampus ketika mahasiswa ‘mati’ bersama cita-cita perubahannya.

F. PMII DAN REKAYASA KAMPUS
Dunia perpolitikan mahasiswa yang tak pernah lepas dari wilayah kampus membuat PMII mau atau tidak mau akan terlibat dalam pusaran rebutan kekuasaan kampus. Meskipun diakui ataupun tidak, mahasiswa pada umunya cenderung bersikap apolitis dengan berbagai isu kebijakan birokrat kampus dan para pejabat mahasiswa, namun tetap saja mahasiswa berpolitik dalam arti yang lebih luas. Dikarenakan politik memiliki lingkup yang menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan, tergantung sudut pandang masing-masing.
PMII sebagai organisasi ekstra kampus membina dan mendistribusikan kader-kadernya untuk aktif dalam lembaga-lembaga kampus, bahkan akan mendorong kadaer-kader terbaik memimpin lembaga-lembaga tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, bagi PMII adalah sebagai ruang distribusi kader karena di lembaga tersebut kader PMII bisa menempa dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya agar lebih maju dan profesional.
PMII memandang lembaga intra kampus sangat strategis sebagai wahana kaderisasi. Pada umumnya, ada beberapa jenis lembaga kampus yang memiliki otoritas tertentu dalam mengayomi kampus dan mahasiswa, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Fakultas/Jurusan (HMF/J) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lembaga-lembaga tersebut bermain dalam wilayah internal kampus dan kepengurusannya berisikan mahasiswa yang tercatat masih aktif program studinya. Secara umum ke tiga jenis lembaga ini memiliki andil penting dalam rekayasa kampus. Mau kemana dan bagaimana nantinya kampus akan dikelola, lembaga inilah yang akan mewujudkannya dalam tataran kerja nyata di lapangan.
Dengan menguasai lembaga intra kampus, PMII akan semakin meneguhkan perjuangannya dalam menyalurkan aspirasi mahasiswa di segala lapisan baik akademisi, organisatoris hingga preman kampus. Perlu diingat bahwa Perguruan Tinggi merupakan salah satu sarana yang dibuat dalam meningkatkan pembangunan negara secara umum, oleh karena itu tak heran bahwa banyak perubahan besar yang diawali dari gerakan lembaga kemahasiswaan ini. Adanya lapangan bola, internet, pustaka hingga tempat parkir merupakan fasilitas yang diberikan karena adanya sebuah permintaan yang dalam hal ini diajukan oleh mahasiswa secara umum dan disampaikan kepada pihak birokrat melalui lembgaga kemahasiswaan jalur komunikasi antara mahasiswa dan birokrat kampus. Ketika birokrat kampus serta lembaga-lembaga ini tidak mampu berkoordinasi dalam mengaspirasikan harapan civitas kampus umum, maka akan timbul saling ketidakpercayaan, stagnansi hingga kemerosotan akreditasi kampus dalam tataran akademis, fasilitas dan budaya.

G. Penutup
Demikianlah paparan seputar kehidupan perkuliahan, dimana kampus dan mahasiswa berada. Kampus bisa menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan aktualisasi dan apresiasinya sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini merupakan sisi positif yang dimiliki mahasiswa. Kesempatan seperti ini tentu tidak dimiliki mereka yang tidak sempat belajar di kampus.
Sebagai bagian dari elemen mahasiswa, PMII memandang sangat vital keberadaan kampus, tidak hanya semata-mata untuk tempat pembelajaran, tetapi juga sebagai wahana untuk menempa dan mengembangkan bakat potensi yang dimiliki para anggota