MARS PMII

Inilah kami wahai Indonesia Satu barisan dan satu cita Pembela bangsa, penegak agama Tangan terkepal dan maju kemuka Habislah sudah masa yang suram Selesai sudah derita yang lama Bangsa yang jaya Islam yang benar Bangun tersentak dari bumiku subur *Reff : Denganmu PMII Pergerakanku Ilmu dan bakti, ku berikan Adil dan makmur kuperjuangkan Untukmu satu tanah airku Untukmu satu keyakinanku Inilah kami wahai Indonesia Satu angkatan dan satu jiwa Putera bangsa bebas meerdeka Tangan terkepal dan maju kemuka Denganmu PMII Pergerakanku Ilmu dan bakti, ku berikan Adil dan makmur kuperjuangkan Untukmu satu tanah airku Untukmu satu keyakinanku

Rabu, 02 Mei 2012

ANALISIS MEDIA

Media hadir di ruang publik bukan tanpa kepentingan. Ada kuasa modal yang bias menyeret-nyeret media menuju fatalisme bisnis dan menafikan fungsinya sebagai pilar penjaga demokrasi. Oleh karenanya dalam memandang sebuah media penting untuk ditelisik ada apa di balik pemberitaan yang terpampang baik di media cetak ataupun elektronik. Analisis media menjadi penting untuk menguji ada kepentingan apa di balik sebuah berita. Ada banyak metode dan analisis media dalam penelitian komunikasi yang khususnya berkaitan dengan media konvensional maupun media pers mahasiswa. Beberapa definisi dalam menganalisis isi media antara lain, sebagai metode pembelajaran dan menganalisa komunikasi secara sistematis, secara objektif, dan bersifat kuantitatif. Adapun beberapa alternatif dalam menganalisa (terutama teks) media, yakni analisis wacana, hermeneotik, semiotika, dan analisis isi. Seorang wartawan ketika menyampaikan suatu isu beraneka ragam dalam menentukan suatu anglenya. Oleh sebab itu pula berita yang disampaikan kepada pembaca bisa jauh berbeda walaupun satu isu dan satu fokus. Memang ulasan atas suatu peristiwa yang disampaikan wartawan atau media massa tidak terlepas dari unsur-unsur yang baku yaitu 5 W + 1 H. akan tetapi, yang banyak di tekankan oleh wartawan biasanya unsur “why” mengapa? dan “how” bagaimana? yang ditelusuri apalagi dalam jurnalistik investigative. Dalam sebuah media, paling tidak dua hal yang terpenting 1) fakta, ini disajikan dalam bentuk berita walaupun dalam pemberitaannya kadang subjektivitasnya tinggi. 2) opini, ini di tampilkan dalam bentuk karikatur, tajuk, surat pembaca, kolom, surat pembaca dan artikel. Kembali ke pokok bahasan, dalam menganalisis media massa ada tiga yang sering di lakukan oleh banyak peneliti alias analis media yaitu: Positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal) analisis ini dinamakan “Analisis Isi” (kuantitatif) Konstruktivisme. Bias juga disebut analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Analisis ini biasa disebut “Analisis Framing” (bingkai) Paradigma kritis. mengoreksi pandangan konstruktivitis yang tidak sensitif terhadap proses produkski dan reproduksi makna. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subyek tertentu, tema wacana tertentu, dan strategi di dalamnya. Bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Dalam kesempatan ini saya lebih mefokuskan ke analisis framing, Hal yang membedakan analisis framing dengan analisis isi kuantitatif dan analisis paradigma kritis, antara lain: Analisis Framing lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya bersifat kuantitatif. Analisis framing menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar yang dipakai adalah interpretasi, karena analisis framing merupakan bagian dari metode interpretative yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Analisis isi kuantitatif umumnya membedah muatan teks komunikasi yang bersifat nyata, sedangkan analisis framing berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi. Proses pemaknaan suatu pesan tidak hanya bisa hanya menafsirkan apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus menganalisis dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media. Unsur penting dalam analisis framing adalah penafsiran dimana tanda dan elemen yang ada dalam teks ditafsirkan secara mendalam oleh peneliti, sebagai sesuatu yang tidak terdapat dalam analisis isi kuantitatif dan analisis pragmatis. Analisis isi kuantitatif hanya mempertimbangkan ‘apa yang dikatakan’, tetapi tidak dapat menyelidiki ‘bagaimana ia dikatakan’. Dengan demikian, analisis framing tidak hanya bergerak dalam level makro (isi dari suatu teks), namun juga bergerak dalam level mikro dalam penyusunan sustu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Analisis framing tidak berpretensi melakukan generalisasi. Penekanan analisis framing adalah bentuk interaksi. Berita berfungsi sebagai suatu pernyataaan, pertanyaan, tuduhan, atau ancaman. Bahkan dapat mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain. Analisis framing termasuk dalam pendekatan konstruksionis, dimana ada 2 karakteristik penting, yakni proses pemaknaan dan penggambaran tentang suatu realitas (secara aktif), dan kedinamisan dalam proses kegiatan komunikasi. Elemen-elemen struktur wacana antara lain (menurut van Dijk), Tematik (apa yang dikatakan), Skematik (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai), Semantik ( makna yang ingin ditekankan), Sintaksis (bagaimana pendapat disampaikan), Stilistik (pilihan kata apa yang dipakai), dan Retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan). Pada kesimpulannya, menganalisis isi media dan analisis pragmatis dengan analisis framing lebih menekankan pada kedinamisan membuat penelitian dan penggambaran dari suatu teks berita dan pada akhirnya memberikan suatu pemaknaan secara lebih mendalam. Cara Tepat dalam Memulai Analisis Media Massa Periksa fakta yang dibeberkan media, lakukan koreksi bila tidak valid Perhatikan struktur penyajian fakta, lakukan kritik kronologis atau spatiologis atau hubungan sebab akibat. Teliti interpretasi atau konklusi yang ingin diarahkan media, mendukung atau membantah argumentasi yang tersembunyi. Ungkap sisi atau perspektif lain, tawarkan konteks baru untuk menyajikan fakta atau menangkap pemahaman atas fakta

Rabu, 25 April 2012

Barca pupus Chelsea ke final


Drama terjadi di Camp Nou. Lionel Messi gagal mengeksekusi penalti, John Terry mendapat kartu merah, Ramires dan Fernando Torres menjadi pahlawan The Blues untuk melaju ke final.Sebuah drama menegangkan telah tersaji selama 90 menit di Camp Nou. Chelsea yang sejatinya tampil lebih banyak bertahan untuk membendung setiap serangan yang dibangun oleh Azulgrana, mampu untuk melaju ke babak selanjutnya berkat dua gol vital di penghujung masing-masing babak pertama dan kedua. Terlebih dengan catatan hal ini dibukukan saat mereka harus dipaksa bermain dengan 10 orang pemain, mengingat kartu merah yang diterima John Terry di pertengahan babak pertama! Hasil yang layak diperoleh The Blues berdasarkan perjuangan mereka, sementara itu kegagalan eksekusi penalti Messi tampaknya akan menjadikan laga ini sebagai momen yang menyesakan bagi Barcelona.

Selasa, 24 April 2012

Islam “Moderat”

Oleh: Ulil Abshar-Abdala dalam islib.com Istilah “Islam moderat” akhir-akhir ini kerap kita jumpai dalam banyak tulisan, baik dari kalangan Muslim sendiri atau yang lain. Apa yang dimaksud dengan “Islam moderat”? Esei pendek ini akan mencoba menjawabnya. Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat. Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam. Dalam penggunaan yang umum saat ini, istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid, seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and discriminatory edicts” – Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).Hakim menyebut secara spesifik hukum dalam agama (shariah) yang ia anggap sebagai pembenar tindakan kekerasan, seperti hukuman mati untuk orang yang murtad, misalnya. Definisi Hakim tentang Islam moderat ini, bagi sebagian kalangan Islam, mungkin dianggap terlalu “liberal”, sebab menganjurkan oto-kritik terhadap hukum-hukum dalam Islam yang ia anggap sudah tak lagi relevan saat ini. Sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyyah, Mesir, yang sudah “bertobat”, Tawfik Hamid paham benar bahwa dalam Islam memang ada beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme atau kekerasan secara umum. Contoh yang mudah adalah hukum tentang jihad dengan segala pernik-perniknya. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu. Definisi lain diajukan oleh Dr. Moqtedar Khan yang mengelola blog Ijtihad (www.ijtihad.org). Seperti Hakim, Dr. Khan memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci). Yang menarik adalah usaha banyak kalangan Islam modern untuk mengaitkan konsep “Islam moderat” ini dengan konsep “wasat” yang ada dalam Quran. Dalam Quran, terdapat sebuah ayat yang banyak dikutip oleh intelektual Muslim modern untuk menunjukkan watak dasar Islam sebagai agama yang “tengah-tengah” atau moderat, yaitu al-Baqarah:143. Saya akan terjemahkan secara lengkap ayat itu sebagai berikut: “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasat dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu “syahadah”, atau konsep kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas “sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain. Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian” dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani. Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi. Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida, mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasat ialah sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim yang dianut oleh kalangan “al-jusmaniyyun”, yakni mereka yang hanya memperhatikan aspek wadag atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh Abduh, disebut sebagai “al-ruhaniyyun”. Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep superioritas Islam atas agama-agama lain. Sebagaimana kita lihat, pengertian kata “wasat” mempunyai pergeseran jauh saat ini. Sekarang, istilah itu bukan lagi dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Istilah itu, sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal, yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah. Perkembangan ini menarik kita cermati karena ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur http://islamlib.com/id/artikel/islam-moderat. diakses pada 23/04/2012. 18.57 WIB

Sabtu, 21 April 2012

Nanang Fadlan Nahkodai PMII Komisariat An-Nawawi Purworejo

Purworejo, Jum at 20/04/2012 sejumlah mahasiswa yang "berjas biru" terlihat bergerombol di Kampus STAIAN (Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nawawi)Purworejo. Mahasiswa yang tergabung dalam PMII Komisariat An-Nawawi tersebut sedang mengadakan RTK (Rapat Tahunan Komisariat). RTK merupakan event tertinggi dilevel komisariat. Agenda terbesarnya adalah medemisionerkan Ketua Umum kepengurusan sebelumnya dengan memilih ketua umum yang baru. Dalam Rapat yang digelar di Aula kampus anyar di Purworejo tersebut terilih Sahabat Nanang Fadlan sebagai Ketua Umum PMII Komisariat An-Nawawi. Pemilihan yang direncanakan dua kali putaran tersebut ternyata hanya sekali, dimana Nanang menang mutlak dari rival-rivalnya. dari sekitar 30-an suara, 24 diantaranya memilih dirinya. Tak luput segenap Pengurus Cabang PMII Purworejo, PMII Komisariat Ahmad Dahlan turut mengapresiasi hasil RTK itu.(abr/SM/88) *) ditulis oleh Abror dalam At-Tasamuh 21/04

Rabu, 11 April 2012

STRATEGI ADVOKASI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI

A. Pengantar
Dalam konsep developmentalisme yang dikembangkan di negara-negara berkembang –kasus Indonesia misalnya- telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan yang bersifat material. Pembangunan memang menjadi ’kata kunci’ bagi keinginan untuk ’mengejar ketertinggalan’ dengan negara lain atau dengan daerah lain. Karenanya, di setiap daerah yang ’dibangun’ akan terlahir berbagai bentuk akitivitas-aktivitas yang diselenggarakan untuk kepentingan tersebut.
Dalam konteks ini, untuk mempercepat implementasi tersebut dalam berbagai bidang; maka negara akan melahirkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas pembangunan. Kebijakan (publik) menjadi penting dalam logika negara agar setiap aktivitas pembangunan memperoleh legitimasi yuridis formal; dan (tragisnya) dapat bersembunyi ketika implementasi pembangunan harus bersentuhan (dan memunculkan problem konflik) dengan kepentingan lain. Misalnya, pembangunan jalan yang melahirkan penggusuran atau ganti rugi yang tidak adil, penggusuran Pedagang Kaki Lima karena alasan penertiban kota, siswa DO karena alasan tidak sanggup membayar sejumlah biaya, dan sebagainya.
Kebijakan dalam logika negara adalah untuk kepentingan publik, makanya diberikanlah istilah kebijakan publik. Perspektif negara dalam konteks kebijakan publik ini akhirnya memberikan implikasi logis untuk memposisikan rakyat pada posisi objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Menjadi wajar jika kemudian paradigma demikian (rentan) melahirkan realitas paradoks dalam pembangunan; untuk mensejahterakan rakyat atau justru sebaliknya. Karena ternyata dalam berbagai kasus, ada banyak kebijakan (publik) pembangunan justru melahirkan situasi kontraproduktif.
Kasus-kasus konflik yang melibatkan negara di satu sisi dan melibatkan rakyat di sisi lain terkait dengan lahirnya sejumlah kebijakan merupakan faka yang tidak dapat ditutup-tutupi. Ada banyak kebijakan yang akhirnya (dianggap) tidak berpihak pada kepentingan publik, kecuali kepentingan ekonomi-politik negara atau kekuasaan. Fakta bahwa dalam setiap konflik antara negara (baca: kekuasaan) dengan rakyat ternyata tidak pernah menguntungkan rakyat, karena hampir tidak pernah ada konflik antara keduanya dimenangkan oleh rakyat. Tatkala rakyat dirugikan dalam berbagai kebijakan tersebut, maka lahirlah sejumlah kegiatan untuk memberikan pendampingan bagi rakyat atau siapa saja yang mendapatkan perlakuan ’tidak adil’ tersebut. Pendampingan-pendampingan tersebut, baik yang dilakukan oleh Lembaga bantuan Hukum, LSM atau lembaga-lembaga yang konsen dengan perjuangan keadilan sosial, merupakan suatu bentuk advokasi.

B. Konsep Advokasi
Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.
Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.
Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.
Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.
Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.

C. Mengapa Kebijakan?
Sesungguhnya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance, yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun sanksi.
Satu bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah melunasi utang mereka.
Kebijakan ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard, pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja. Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp 600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp 69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk ‘mensubsidi’ para konglomerat perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.
Kebijakan yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Kedua, kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal karena alokasinya sangat besar.
Dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.
Oleh karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.
Agar kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar. Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya, perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.

D. Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja dan Kerangka Jaringan
Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal: Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.
Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).
Ketiga adalah budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.
Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
(1) Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
(2) Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.
(3) Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
Mengingat advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.
Untuk membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama:
(1) jaringan kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.
(2) jaringan kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.
(3) jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses.
Berhasil atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:
(1) bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.
(2) kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.
(3) realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
(4) batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
(5) dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi
(6) analisa ancaman dan peluang.

E. Kaidah-kaidah advokasi
Sebagai kegiatan yang terencana dan sistematis, maka ada beberapa kaidah yang menjadi pegangan bagi tiap orang yang melakukan advokasi. Kaidah-kaidah tersebut adalah;
(1) Mencermati posisi kasus; digunakan untuk memetakan persoalan yang berisikan identifikasi masalah, potensi dan peluang serta jangka waktu yang dikerjakan.
(2) Identifikasi siapa kawan dan siapa lawan; dilakukan untuk memperkecil lawan dan memperbanyak kawan, melalui identifikasi siapa saja yang mendukung dan siapa saja yang menentang.
(3) Kerjakan rencana yang sudah dibuat; agar tidak secara tibga-tiba mengubah sasarab dan target yang sudah disepakati dan disusun.
(4) Tetap konsisten pada masalah
(5) Jangan mudah ditakuti atau diintimidasi
(6) Berimajinasilah
(7) Berdoalah

F. Cara Melakukan Advokasi
(1) Advokasi untuk menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa dinamakan dengan langkah legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan konsep-konsep tanding), judicial review (hak uji materiil) atau langkah-langkah ligitasi dengan menguji di pengadilan lewat satu kasus.
(2) Penggunaan lobi, strategi negosiasi, mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan yang kuat dan luas. Paling tidak ada 3 kekuatan yang menjadi basis dukungan, pertama, kerja pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua, kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan ketiga, kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding, pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.
(3) Melakukan kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot, peroganisasian basis dan pendidikan politik. Mlelaui pemanfaatan jaringan yang ada, pertama, lingkaran inti yaitu mereka yang tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa pendiri, penggerak utama sekaligus pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran advokasi. Biasanya kelompok inti adalah mereka yang mempunyai kesamaan ideologi. Kedua, adalah jaringan sekutu, yang melakukan kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan kepentingan.

G. Penutup
Demikianlah berbagai catatan tentang advokasi. Pada intinya advokasi biasanya diselenggarakan melalui dua bentuk. Pertama, jalur non ligitasi (tanpa melalui pengadilan atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif, dan kedua, jalur ligitas yakni melalui proses pengadilan. Jalur-jalur tersebut biasanya dilakukan dengan melihat efektifitas sebuah gerakan advokasi. Terimakasih.

MANAJEMEN AKSI

Pengorganisiran dan Mobilisasi Massa

Berdasarkan Situasi Nasional
• Mengorganisir, memobilisasi, menggerakan dan memimpin perlawanan mereka (baik dalam satu isu khusus/lokal :kampung, pabrik, desa, kampus hingga isu umum sektoral bahkan isu umum yang lintas sektor).
• Membentuk wadah-wadah perlawanan massa permanent.Wadah-wadah permanen ini bila berhasil dijaga dan terus diperbesar akan menjadi kekuatan pelopor kita untuk menggerakan massa secara lebih besar lagi.
• Mempercepat pengkaderan (rekruitment).
Ketiga proses diatas dilakukan secara bersamaan. Sambil kita mengagitasi dan membuat struktur perlawanan.

Prinsip pengorganisiran :
I. Agitasi/Propaganda/Kampanye.

Keberhasilan sebuah aksi yang besar dan direncanakan akan sangat tergantung (apalagi bagi organisasi yang masih kecil) dari keberhasilan kerja-kerja agitasi/propaganda/kampanye yang didasarkan pada tuntutan umum massa yang tidak mau dipenuhi oleh pemerintah (lain halnya dengan aksi massa besar yang spontan akibat ledakan, yang tidak mungkin diperkirakan). Keberhasilan dari kerja-kerja ini terlihat dari:
• Terbangunya atmosfir isu-isu atau tuntutan-tuntutan yang dipropagandakan.
• Kesiapan (dukungan) massa secara luas untuk terlibat dalam rencana aksi (termasuk menarik aliansi/sekutu/kelompok).
• Kesiapan subjektif organisasi memimpin aksi ini.
• Reaksi pemerintah.
• (Bila aksinya terbuka) maka tanggal aksi (serta tempat aksi) juga menjadi popular di massa.

Semua alat-alat propaganda harus selalu dihubungkan dengan perluasaan propaganda isu yang kita pergunakan untuk aksi. Jadi setelah disepakati isunya, maka semua terbitan, poster, statement, diskusi, seminar, selebaran, grafity action (corat-coret) harus dihubungkan dengan hal diatas.

II. Pengorganisiran

Kerja-kerja propaganda dan agitasi harus juga sejalan dengan pengorganisiran massa guna persiapan aksi tersebut. Artinya seluruh pengorganisiran massa harus dipergunakan “nantinya” untuk kekuatan aksi yang kita selenggarakan.
Secara umum “organiser”aksi ini harus terwujud secara massal. Dari mulai mengkonsolidasikan basis kita yang sudah terorganiser hingga perluasaanya. Ini harus menjadi tugas pekerjaan/pengorganisiran bukan saja bagi kader melainkan setiap massa yang terlibat aktif dalam rencana aksi. Sejak awal pengorganisiran harus terbangun jaringan agen/koordinator pengorganisiran (yang akan diperbaiki dalam setiap perkembangan pengorganisiran). Secara ekstrem dapat dikatakan “setiap hari” harus ada tambahan jumlah massa yang bisa diajak aktif untuk acara ini (menjadi organiser). “Setiap hari” harus ada tambahan kontak baru yang mau mengkonsolidasikan tempatnya (tempat tinggal/kerja) untuk diajak ikut rencana aksi ini. “Setiap hari” harus ada kontak perluasaan daerah basis yang bisa diajak dan aktif membangun kekuatan dibasis daerahnya.
• Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak), semua laporan perkota dan basis diatas)dilaporkan kembali.
• Laporan kekuatan massa pelopor untuk memimpin/mendorong massa dalam kota/basis terlibat dalam aksi.
• Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
• Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum kaum buruh maupun non buruh.
• Respon penguasa, penduduk setempat, aparat dan pemerintah.
• Evaluasi pengorganisiran
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
• Rencana kedepan (hingga pertemuan wilayah).

Rapat Umum (semua koordinator dari seluruh tingkatan)
Menjelang hari H akan ada pertemuan besar (seluruh koordinator hingga koordinator terkecil untuk mencek kesiapan massa).

Taktik Strategi Atas :

Pada saat ini sangat mungkin untuk mempergunakan strategi atas untuk mendukung dan memaksimalkan kerja-kerja dibawah. Yang dimaksud strategi atas disini bukan saja persoalan kampanye (seperti dalam bentuk seminar terbuka) melainkan melakukan seruan aksi nasional terbuka jauh-jauh hari. Kita tidak akan melakukan ini jika tidak terlihat kesiapan hasil kerja kawan-kawan di pengorganisiran. Setelah dilihat kesiapan untuk melakukan mobilisasi umum nasional/wilayah, maka pimpinan pusat/wilayah akan mengeluarkan seruan terbuka tentang aksi itu. Ini dilakukan juga paling cepat satu bulan sebelum aksi dilakukan. Setelah ini harus dilakukan dukungan dari daerah-daerah baik berupa konferensi pers maupun aksi agar terlihat kebesaran dari rencana aksi nasional. Dukungan juga harus datang dari organisasi lain : Mahasiswa, LBH, LSM hingga partai-partai dan tokoh-tokoh. Adanya tanggapan dari pemerintah biasanya akan justru mendorong kampanye kita (memperluas atmosfir agitasi propaganda kita). Kerja-kerja pengorganisiran di bawah dapat lebih terdorong lagi. Walaupun kemungkinan represif dan kontra aksi akan dilakukan aparat keamanan, pengusaha dan pemerintah.
Lain-Lain : Seminar, talk show dll.
Aliansi/Front
Kesiapan kita untuk melakukan mobilisasi massa umum harus dilakukan sesuai dengan target kita. Cara-cara yang dipergunakan dalam aliansi/front harus diusahakan semua tuntutan, program dan taktik kita dapat diterima. Melihat watak kelompok-kelompok massa yang ada. Aliansi/front akan sangat mungkin terbentuk/terdorong jika kita berhasil melakukan pra kondisi. Dengan cara mempelopori pra kondisi kita juga dapat memimpin.

Aksi Pra Kondisi :
Aksi pra kondisi yang dilakukan dimaksudkan untuk melihat tingkat konsolidasi dan persiapan massa sebelum aksi. Aksi yang terpenting adalah aksi rally, demo, rapat akbar di satu kawasan/kota. Jadi aksinya di basis massa. Ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kerja propaganda dan mencek tingkat dukungan massa dan latihan bagi mobilisasi pada hari H nantinya. Sebelum aksi ini dilakukan terlebih dahulu dilakukan kampanye baik dalam strategi bawah (pengorganisiran, selebaran) maupun strategi atas : Konferensi pers atau kalau perlu ada aksi awal dengan mengadakan aksi mendatangi DPR, Depnaker dll.
Catatan tentang front : Bila front berhasil terbentuk maka kegiatan yang dilakukan dapat dilakukan atas nama front termasuk siapa yang menyerukan aksi (nasional) dan dukungan daerah. Tetapi yang harus diingat kita tetap harus menjalankan program kita dan independen terhadap taktik kita bila front tidak menyetujui ini menjadi keputusan mengikat.
Seluruh kerja diatas harus dapat dikontrol secara penuh oleh partai. Kontrol disini bukan saja dimaksudkan untuk menerima laporan kerja kawan-kawan melainkan juga memberikan arahan secara regular dan konsisten dan membantu pekerjaan ini secara sistematis. Semua kerja-kerja di pengorganisiran (pabrik, kota, wilayah) harus dilaporkan secara rutin hingga kepusat. Hingga jauh-jauh hari sebelum hari H sudah bisa dilihat kesiapan dan kemungkinan keberhasilan aksi tersebut.
Semua tindakan kerja-kerja pengorganisiran (dalam setiap pertemuan dan diskusi massa) dilakukan dalam satu gerak yang sama yaitu:
• Agitasi dan propaganda : agitasi isu, propaganda untuk bersatu, tuntut ke pemerintah.
• Kondisi basis (tempat kerja/tinggal) dan massa (untuk menetapkan taktik pengorganisiran) : jumlah massa, geopolitik basis, isu/tuntutan/persoalan basis.
• Pertemuan berikut di basis-basis yang lebih kecil.
• Pemilihan koordinator sementara.
• Ada absensi.
• Seruan untuk mengajak kontak dalam pertemuan massa berikut.
• Kerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang di setiap basis baru hingga menjelang hari H.

Catatan : Bila satu basis telah terkonsolidasi maka pertemuan-pertemuan massa di basis dapat dihentikan dan digantikan hanya dengan tugas penyebaran bacaan dan mencari kontak di tempat lain. Tetapi pertemuan seluruh koordinator dalam satu basis tetap dilakukan.

A. Pertemuan koordinator dibasis yang paling kecil: pabrik/kampung/desa/kampus :
Laporan (ditulis) :
• Jumlah kumpulan (sesuai dengan struktur mobilisasi), berapa massa yang hadir dalam kumpulan (dari absensi). Dari kumpulan yang ada berapa % kemampuan untuk memobilisasi massa di basis tersebut.
• Jumlah selebaran/poster yang didistribusikan dan corat-coret yang dilakukan.
• Respon/tanggapan/usulan massa dan respon penguasa
• Kontak massa lain yang ikut kumpulan.
• Rencana pengorganisiran berikut/perluasan.
• Evaluasi pengorganisran
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya
• Rencana ke depan (hingga pertemuan kota/wilayah terdekat).
• Lain-lain




B. Pertemuan kota/wilayah (pertemuan koordinator-koordinator basis terkecil) :
Laporan Per kota (ditulis) :
• Geo-politik : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa kota , peta geo-politik kota, lokasi kekuatan massa yang telah terorganisir, lokasi-lokasi basis strategi (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, aparat, rute-rute jalan, transportasi dll.
• Jumlah basis (yang diorganisir dan perluasan/kontak): semua laporan basis terkecil dilaporkan kembali.
• Laporan kekuatan massa kepeloporan untuk memimpin/mendorong seluruh massa dalam satu “kota/lokasi” terlibat.
• Laporan distribusi selebaran, poster dan corat-coret dan distribusinya.
• Kesimpulan dari respon/tanggapan/usulan massa di seluruh basis yang diorganisir dan massa umum.
• Respon massa setempat dan aparat.
• Evaluasi pengorganisiran.
• Evaluasi struktur koordinator/agen/mobilisasi hingga perubahannya.
• Rencana ke depan (hingga pertemuan wilayah)

C. Pertemuan wilayah (pertemuan koordinator kota yang bisa diperluas melibatkan koordintor basis).
Laporan wilayah (ditulis) :
• Geo politik wilayah : jumlah massa, pengalaman revolusioner massa wilyah, peta geo-politik wilayah, lokasi kekuatan kota-kota yang di organisir, lokasi-lokasi kota strategis (sasaran pengorganisiran), kondisi masyarakat setempat, penguasa, aparat, rute-rute jalan, transportasi, dll.
• Jumlah kota yang menjadi basis.

I. Bentuk Agitasi
1. Agitasi-Propaganda tertulis
A. Agitasi dan propaganda terbuka/umum/massal.
Untuk aksi wilayah maka agitasi lewat poster biasanya sangat efektif untuk mensosialisasikan tuntutan-tuntutan kita, untuk membangkitkan atmosfir perlawanan disana. Apalagi ketika basis kita di wilayah tersebut masih lemah. Penempelan poster harus ditempelkan di tempat-tempat strategis yaitu tempat berkumpul massa.
B. Agitasi lewat selebaran.
Tanpa selebaran tidak mungkin ribuan, puluhan ribu massa dapat kita organisir. Karena tidak mungkin kita mengumpulkan ribuan massa dan membicarakan hal ini, disamping tidak aman juga tidak ada tempat. Selebaran ini sifatnya bukan saja sebagai alat untuk agitasi dan propaganda melainkan lewat selebaran ini struktur agen-agen mobilisasi dibentuk/dibangun. Lewat selebaran ini massa dapat digerakan secara TERORGANISIR, patuh dan disiplin terhadap seluruh keputusan taktik-taktik yang kita buat. Massa akhirnya bisa dipimpin lewat selebaran. Biasanya setelah selebaran kedua maka massa akan mengerti bahwa ia akan dipimpin oleh selebaran. Jadi pada dasarnya agen selebaran adalah juga agen mobilisasi sama dengan struktur mobilisasi kita. Selebaran juga berfungsi untuk keamanan rencana aksi. Lewat selebaran maka pertemuan-pertemuan massa dapat diperkecil. Hanya agen-agen misalnya.
Catatan : Selebaran tidak hanya dipergunakan pada pra aksi melainkan juga pada pasca aksi hari pertama atau untuk menggerakan aksi kembali, memperluas aksi dll.
Di tempat-tempat didistribusikannya selebaran atau poster penting untuk dikirimkan kawan ke lokasi ini. Tujuannya untuk menagitasi dan selanjutnya mendapatkan kontak untuk diorganisir.
2. Agitasi-Propaganda Oral
A. Agitasi dan Propaganda lewat pertemuan/kumpulan
Ini suatu tindakan yang penting adalah untuk meyakinkan massa dan mengaktifkan mereka dalam rencana kita. Karena biasanya ada persoalan-persoalan ataupun pertanyaan dari massa akan suatu hal yang tidak ia dimengerti. Artinya agitasi dan propaganda kita lewat selebaran harus juga dibarengi dengan agitasi-propaganda lewat pertemuan. Lewat pertemuan kita bisa menjelaskan tuntutan kita lebih panjang dan bisa diterima massa.
B. Agitasi dari rumah ke rumah
Agitasi –propaganda ini berfungsi untuk mengajak kontak untuk diyakinkan dan dapat ikut serta dalam pertemuan yang kita lakukan. Biasanya ini dipergunakan pada tahap awal pengorganisiran atau ketika ada perluasan ke basis lain dan sifatnya masih kontak.
II. Pembangunan Struktur Agen Mobilisasi
Struktur agen yang kita bentuk disesuaikan dengan struktur basis massa yang menjadi sasaran aksi . Karena ini aksi yang sifatnya mobilisasi umum maka struktur yang dibentuk juga bukan hanya struktur agen di basis lokal melainkan struktur agen berapa basisi/kota/wilayah. Misalnya dalam satu wilayah maka harus ada struktur antar kota satu dengan struktur kota lainnya. Sementara di kota tersebut juga ada struktur antar basis.
Pembangunan agen mobilisasi aksi wilayah sama dengan pembangunan agen dalam pengorganisiran aksi di satu basis (pabrik/kampung/desa). Bedanya adalah dalam setiap pertemuam basis, jika kita punya kontak massa basis lain, maka akan sangat baik kontak kita ini dapat diikut-sertakan, karena tuntutan kita adalah tuntutan umum seluruh massa. Ini dilakukan untuk mempercepat perluasan basis-basis massa yang akan menjadi pelopor untuk menggerakan satu wilayah. Bahkan pada prinsipnya seluruh massa di satu basis HARUS selalu diingatkan bila punya kontak di basis lain dapat diajak ikut. Setelah itu kontak ini ditugaskan untuk mengajak kawan-kawannya dan membuat kumpulan di basisnya sendiri dan mulai membangun struktur di basis tersebut. Untuk pemilihan terhadap siapa-siapa yang menjadi koordinator maka pemilihan harus diusahakan dipilih oleh massa sendiri. Karena masalah yang mengerti siapa yang terbaik dan paling berani, paling militan dan untuk melakukan ini. Dengan pemilihan ini maka koordinator ini akan menjadi pimpinan yang akan diakui/dipatuhi oleh mereka. Sambil membangun struktur di satu basis, juga harus dilakukan pembangunan/pertemuan antar basis dan antar titik-titik/konsentrasi basis kota yang menjadi sasaran. Walaupun struktur ini bisa saja bersifat sementara karena mungkin ada pergantian.
Catatan : Setiap koordinator harus mengetahui bagaimana menghubungi jajaran di bawahnya (koordinator dibawahnya). Artinya ia harus mengetahui tempat tinggalnya.

III. Peta Lokasi Aksi
Sebelum beregrak harus ada pemetaan (peta) wilayah. Dimana titik-titik sasaran yang menjadi sasaran aksi kita. Dimana basis-basis kita, dimana massa basis-basis lain yang tidak kita organisir akan dapat diseret dalam aksi kita. Dimana letak tujuan aksi kiat, DPRD, DPR. Depnaker, Istana, dll. Dimana letak markas tentara/polisi yang akan di mobilisir untuk menghentikan aksi kita. Dimana titik yang akan menjadi tempat pertemuan utama dari titik-titik pertemuan seluruh massa. Dimana kemungkinan kita akan dihadang, kemana kita harus mundur, kemana bila kita harus tetap sampai ke lokasi aksi.

IV. Waktu Aksi
Waktu aksi yang tepat adalah pada saat massa berkumpul dijalan. Misalnya jam 6.30-7.00 WIB pada saat masuk kerja. Jam berapa pelopor harus sudah berkumpul dll. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsolidasikan massa di titik-titik kumpul, kapan harus titik-titik tersebut ketemu dan kapan harus segera bergerak keluar.

Hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Semua pekerjaan harus bersifat massal, artinya pekerjaan pengorganisiran, agitasi-propaganda, penempelan poster, pembagian selebaran harus bersifat massal, termasuk dana. Semua orang harus menjadi organisator, agitator-propagandis. Bila proses ini tidak menjadi massal bisa dipastikan sebelum aksi, bahwa kita telah gagal.
2. Harus ada dua tempat : tertutup dan terbuka.

ILMU POLITIK STUDIES

ASAL-USUL PEMIKIRAN POLITIK BARAT
DARI YUNANI KLASIK HINGGA AWAL ABAD KE-21

Pengantar
Dalam kerangka pembahasan ini (1) disebut unsur-unsur terpenting yang muncul selama sejarah 2500 tahun terakhir dalam lingkungan budaya Eropa dan secara mendalam menentukan dasar-dasar etika politik "Barat" dewasa ini. (2) Dicoba ditarik sebuah sintesis.

I. GAGASAN-GAGASAN KENEGARAAN EROPA TERPENTING
1. Kesatuan antara etika dan politik
• Desakralisasi kenegaraan.
• Demokrasi Athena: Negara urusan semua warga
• Aristoteles (383-321): Ikut mengurus polis merupakan kelengkapan perealisasian diri
• etis. Ini yang akan menjadi gagasan inti paham kenegaraan dalam rangka paham hukum
• kodrat. Gagasan ini diangkat kembali oleh Hegel, Hannah Arendt dan komunitarisme (Ch. Taylor dll.).
2. Roma: Cita-cita Republik
• Warga negara bertanggungjawab atas kejayaan kota.
• Adalah manis mati bagi negaranya (dulce est mati pro patria).
• Hubungan antara warga ditata secara hukum.
• Cita-cita ini – mengabdikan diri pada negaranya – akan menjadi salah satu unsur penting dalam etika politik Barat, dalam garis Machiavelli – Rousseau – Hegel – komunitarisme.
3. Augustinus (354-430): Komunitas Allah, komunitas bumi
• Pemisahan keras antara kerajaan Allah dan kerajaan-kerajaan dunia.
• Kejayaan kekristenen tidak berkaitan dengan jaya-tidaknya negara orang-orang Kristen.
• Karena manusia harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia, negara tidak boleh ditaati kalau memerintahkan sesuatu yang merupakan dosa. Ini gagasan paling dasar yang masuk ke dalam keyakinan dasar bahwa wewenang negara terbatas oleh moralitas.
• Negara adalah perlu untuk menertibkan manusia yang kacau akibat dosa.
• Implikasi: Manusia yang tidak berdosa tidak memerlukan negara: Gagasan ini akan mendasarkan semua paham anarkisme: Asal keadilan dan kebaikan dikembalikan, negara tidak perlu.
4. Abad Pertengahan: Kaisar dan Paus (962-1437)
• Perbedaan prinsipiil antara wilayah "dunia" dan "Gereja" oleh keduabelah pihak diakui (ajaran tentang dua pedang).
• Yang diperdebatkan apakah kepala dua bidang itu, kaisar dan paus, sama kedudukannya, atau paus lebih tinggi (sehingga kaisar menerima wewenangnya dari paus).
• Perselisihan ini – di mana dalam politik nyata semula yang menang kaisar, kemudian paus (didukung oleh naiknya negara-negara Eropa lain yang tidak mengakui kemahakuasaan kaisar) – membuat seluruh masyarakat Eropa sadar akan perbedaan antara dua bidang ini. Kesadaran ini unsur terpenting yang akan membuka jalan kesekularisasi.
5. Thomas Aquinas (1225-1274)
• Kembali ke paham Aristoteles bahwa negara merupakan kelengkapan kesosialan manusia (sehingga manusia "firdausi" pun akan membentuk negara).
• Eksekutif negara terikat pada hukum kodrat, jadi pada hukum moral. Maka setiapkekuasaan secara prinsipiil terbatas. Keyakinan ini menentang segala positivisme kekuasaan (Hobbes, raison d'état, poisitivisme hukum).
• Menurut ThA (dan para pemikir abad pertengahan lain, seperti Marsilius dari Padua) raja menerima kekuasaan berdasarkan sebuah perjanjian kekuasaan dari rakyatnya, sehingga, apabila ia tidak lagi mengusahakan kepentingan umum, ia kehilangan legitimasi.
6. Machiavelli (1469-1527)
• Kembali ke cita-cita republik.
• Demi penciptaan republik, pemantapan kekuasaan harus menjadi pangeran tujuan pertama pangeran.
• Tujuan itu mengalahkan segala tuntutan/syarat moralitas individual. Pandangan yang masih terbatas pada teknik pemantapan kekuasaan penguasa akan melandasi gagasan raison d'état.
7. Thomas Hobbes (1588-1679) dan negara Leviathan
• Paham bahwa negara adalah hasil sebuah kontrak (perjanjian negara).
• Negara modern sebagai mesin raksasa.
• Paham negara absolut yang tidak dapat dibatasi kedaulatannya berdasarkan pertimbangan moral; namun kedaulatan tak tertanding negara menyangkut Negara hukum. Menurut Hobbes, negara yang absolut semata-mata karena daya ancam penguasa, tanpa hukum, justru akan hancur.
• Positivisme Hukum.
• Rasionalitas negara hukum (dalam pengertian positivistik). Gagasan ini menjadi kunci paham negara hukum republikan Immanuel Kant.
• Argumentasi Hobbes sampai hari ini mendasari pandangan mereka yang mendahulukan law and order terhadap demokrasi.

8. Paham Negara Liberal John Locke (1632-1704)
• Hak-hak asasi manusia (mengangkat kembali teori hukum kodrat).
• Wewenang negara secara hakiki terbatas:
• Negara harus menjamin hak-hak asasi manusia.
• Wewenang negara sejauh diserahkan kepadanya dalam perjanjian asali.
• Paham negara konstitusional (negara berdasarkan sebuah undang-undang dasar).
• Hak untuk berrevolusi apabila pemerintah melanggar konstitusi.
• Hak-hak asasi manusia, pengertian bahwa wewenang negara secara hakiki terbatas dan bahwa keterbatasan itu mendapat bentuk institusional dalam konstitusi menjadi pengertian dasar negara modern.
• Negara tidak berkompetensi di bidang agama dan sebaliknya (toleransi agama).
9. Montesquieu (1689-1755)
• Mengembangkan teori negara konstitusional J. Locke menjadi trias politik: perpisahan antara kekuatan legislatif, eksekutif, yudikatif.
10. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
• Paham kedaulatan rakyat.
• Paham kehendak umum.
• Paham demokrasi langsung – tanpa badan perwakilan – yang karena itu tidak memerlukan jaminan hak-hak asasi manusia dan konstitusi.
• Moralisasi politik (berlainan pendapat dari "kehendak umum" adalah tanda sikap moral yang tidak memadai), semangat republikan, dan civil religion.
Catatan:
• Rousseau menyediakan legitimasi moral/ideologis klaim demokrasi bahwa dialah satu-satunya bentuk kenegaraan yang sah.
• Rousseau dan Locke merupakan pemikir demokrasi modern. Namun di antara mereka ada ketegangan. Yang pertama menomorsatukan kesamaan, yang kedua kebebasan.
• Paham kehendak umum menjadi paham pertama tentang sebuah subjek adi-individual. Paham itu kemudian dikembangkan menjadi "rakyat" (the people), "bangsa", "kelas sosial"/"proletariat" dlsb. yang seakan-akan mempunyai kehendak sendiri, lepas dari individu-individu yan membentuknya.
• Paham tentang subjek adi-individual menjadi model negara ideologis:
• Politik menjadi masalah benar – salah (moralisasi politik).
• Benarnya politik diukur pada sebuah teori/ideologi: patriotisme, teori sejarah benar (Marxisme), garis partai, kebenaran ilahi, dll.
• Kebenaran ideologis dijamin oleh sebuah "imamat ideologi" (para penjaga ideologi: Kaum "bersih" sekitar Robbespierre, partai komunis, para pendeta/ulama) yang, karena mengklaim memiliki teori benar, melegitimasikan kekuasaan mutlak di tangan mereka.
11. Immanuel Kant
• Negara hukum republikan sebagai negara paling rasional dan paling menjamin perdamaian.
• Paham itu berhasil menyingkirkan moralisasi politik dan menunjukkan bahwa demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia dan secara pandangan dunia/agama netral menjamin hidup bersama berdamai paling bermutu.
12. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
• Dimensi sejarah dalam perkembangan bentuk kenegaraan. Sejarah menuju kerasionalitas dan kebebasan yang semakin besar.
• Negara sebagai ekspresi Roh Semesta terjamin rasionalitasnya bukan melalui mekanisme demokratis, melainkan karena kepentingan rasionalitas birokrasi dan perwakilan golongan-golongan karya ("negara koporatif"). Dalam kenyataan pengertian ini mendukung negara otoriter.
• Hubungan antar negara ("hukum internasional") dilakukan dalam "keadaan alami" (menurut paham Hobbes), artinya, Hegel menolak hukum internasional. Hanya kepentinganlah yang bicara.
13. Karl Marx (1818-1883)
• Negara itu tanda keterasingan manusia: Manusia sudah menjadi egois dan individualis, maka agar ia tidak berkelahi, perlu negara.
• Secara empiris negara dikuasai oleh kelas-kelas atas ekonomis untuk menjamin kepentingan mereka.
• Negara melegitimasikan kebijakannya (yang menguntungkan kelas-kelas atas) secara ideologis, artinya dengan mengandalkan teori-teori besar yang mengumandangkan sebagai nilai universal apa yang sebenarnya merupakan kepentingan kelas-kelas berkuasa.
• Masyarakat tanpa kelas tidak lagi memerlukan negara.
II. SEKITAR LEGITIMASI KENEGARAAN MODERN
Tinjauan historis di atas menunjukkan beberapa garis pengertian kontemporer Eropa tentang negara dan etikanya yang sebagian bersaing.
1. Negara modern absolut
Di Barat negara hukum mendahului demokrasi. Modernitas politik muncul dengan tekanan pada perlunya kedaulatan negara, khususnya dalam rangka negara kebangsaan (Prancis, Inggris dll.) di mana paham-paham Machiavelli dan Hobbes menghasilkan negara kerajaan absolut. Negara itu semula konfesional karena uniformisme religius dianggap dukungan terpenting kekuasaan negara. Gereja jelas di bawah negara (Hobbes). Dalam abad ke-18 sebaliknya kedaulatan negara dan pengakuan akan pluralitas masyarakat menghasilkan negara yang mempermaklumkan toleransi religius: Prussia, Austria. Pengaruh pemikiran Locke dan Rousseau, serta kemerdekaan Amerika Serikat mulai meruntuhkan dasar-dasar absolutisme negara.

2. Negara hukum demokratis sosial
Keterikatan kekuasaan pada hukum kodrat, paham hak-hak asasi manusia, keyakinan akan kedaulatan rakyat, pengertian the minimal state yang batas kekuasaannya harus dirumuskan dalam sebuah undang-undang dasar, keyakinan akan kedaulatan hukum yang harus etis, 300 tahun tradisi toleransi agama, perlindungan terhadap minoritas, ditambah dampak kritik Marx/sosialisme akan negara kelas, yaitu kesadaran akan tanggungjawab sosial negara merupakan unsur-unsur terpenting dalam paham "demokrasi Barat" kontemporer.

3. Negara ideologis
Negara hukum demokratis sosial berhadapan dengan pelbagai percobaan/kenyataan negara ideologis. Kenegaraan didasarkan pada sebuah ideologi yang keras, yang memisahkan antara warga negara yang "baik" dan yang "tidak baik" dan dikuasai oleh elit ideologis yang memegang kekuasaan atas nama ideologi (ideologi diartikan sebagai teori benar tentang kehidupan bernegara). Contohnya adalah ekstremisme republikan dalam Revolusi Prancis (Robbespierre), fasisme, komunisme, negara agama pascatradisional.


KISI-KISI EPISTEMOLOGI DAN SOSIAL STUDIES


A. THE PHILOSOPHY OF EPISTEMOLOGY
I. Epistemologi Empirisme-Positifisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat empirisme dan Positifme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Empirisme dan Positivisme
c. Konstruksi Epistemologi Empirisme dan Positivisme
d. Wacana kritk Terhadap Epistemologi Empirismedan Positivisme
II. Epitemologi Rasionalisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Rasionalisme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Rasionalisme
c. Konstruksi Epistemologi Rasionalisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Rasionalisme
III. Epistemologi Idealisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Idealisme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Idealisme
c. Konstruksi Epistemologi Idealisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Idealisme
IV. Epistemologi Pragmatisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Pragmatisme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
c. Konstruksi Epistemologi Pragmatisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Pragmatisme
V. Epistemologi Eksistensialisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Eksistensialisme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Eksistensialisme
c. Konstruksi Epistemologi Eksistensialisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi eksistensialisme
VI. Epistemologi Phenomonologi
Kisi-kisi Materi:
a. sejarah Filsafat Phenomonologi
b. Tokoh-tokoh filasafat Phenomonologi
c. Konstruksi Epistemologi Phenomonologi
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi
VII. Epistemologi Matrealisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Matrealisme
b. Tokoh-tokoh Filsafat Matrealisme
c. Konstruksi Epistemologi Matrealisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Matrealisme
VIII. Epistemologi Strukturalisme Bahasa
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Filsafat Strukturalisme Bahasa
b. Tokoh-tokoh Filsafat Strukturalisme Bahasa
c. Konstruksi Epistemologi Strukturslisme Bahasa
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Strukturalisme Bahasa
IX. Memperkenalkan Metode Analisis Etnometodelogi Harold C. Granfinkle
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Harold C. Grafinkle
b. Latar Belakang Intelektual dan karya-karya Harold C. Granfinkle
c. Metode Analisis Etnometodologi Harold C. Granfinkle
d. Kritik Terhadap Analisis Etnometodologi Harold C. Granfinkle
X. Epistemologi Post-Modernisme J. Francois Lyotard
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi J. Francois Lyotard
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya J. Francois Lyotard
c. Epistemologi Post-Modernisme J. Francois Lyotard
d. Kritik Atas Epistemologi Post- Modernisme J. Francois Lyotard
XI. Epistemologi Semiotika Roland Barthes
Kisi – kisi Materi:
a. Biografi Roland Barthes
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Roland Barthes
c. Epistemologi Semiotika Roland Barthes
d. Kritik Atas Epistemologi Semiotika Roland Barthes
XII. Kritik Ideologi Altusser
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Altusser
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Altusser
c. Metode Kritik Ideologi Altusser
d. Kritik Atas Kritik Ideologi Altusser
XIII. Teori Dekonsttruksi Jaques Derrida
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Jaques Derrida
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Jaques Derrida
c. Teori Dekonstruksi Jaques Derrida
d. Kritik atas Teori Dekonstruksi Jaques Derrida
XIV. Arkeologi dan Geneologi Michel Foucault
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Michel Foucault
b. Latar Belakang Intelektual dan KArya-karya Michel Foucault
c. Arkeologi-Geneologi Michel Foucault
d. Kritik Atas Geneologi-Arkeologi Michel Foucault
XV. Sosiologi Pengetahuan Jurgen Habermas
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Jurgen Habermas
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Jurgen Habermas
c. Sosiologi Pengetahuan Jurgen Habermas
d. Kritik Atas Sosiologi Pengetahuan Jurgen Pengetahuan


B. EPISTEMOLOGI ISLAM
I. Epistemologi Burhani
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Burhani
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Burhani
c. Kostruksi Epistemologi Burhani
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Burhani
II. Epistemologi Bayani
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Bayani
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Bayani
c. Konstruksi epistemologi Bayani
d. Wacana Kritkik Terhadap Epistemologi Bayani
III. Epistemologi Irfani
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Irfani
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Irfani
c. Konstruksi Epistemologi Irfani
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Irfani
IV. Epistemologi Islam Tradisionalis
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Tradisionalis
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Tradisionalis
c. Konstruksi Epistemologi Tradisionalis
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Tradisionalis
V. Epistemologi Konservatif
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Konservatif
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Konservatif
c. Konstruksi Epistemologi konservatif
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Konservatif
VI. Epistemologi Islam Fundamentalisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Fundamentalis
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Fundamentalis
c. Konstruksi Epistemologi Fundamentalis
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Fundamentalis
VII. Epistemologi Islam Orientalisme
Kisi-kisi Materi:
a. Sejarah Epistemologi Orientalisme
b. Tokoh-tokoh Epistemologi Orientalisme
c. Konstruksi Epistemologi Orientalisme
d. Wacana Kritik Terhadap Epistemologi Orientalisme
VIII. Kritk Nalar Islam Muhammad Arkoun
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Muhammad Arkoun
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Muhammad Arkoun
c. Metode Nalar Kritik Islam Muhammad Arkoun
d. Kritik Atas Metode Kritik Nalar Islam Muhammad Arkoun
IX. Hermeneutika al-Qur’an Hasan Hanafi
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Hasan Hanafi
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Hasan Hanafi
c. Metode Tafsir al-Qur’an Hasan Hanafi
d. Kritik Atas Tafsir al-Qur’an Hasan Hanafi
X. Gagasan Penyelarasan Epistemologi Islam Abu Abid al-Jabiri
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Abu Abid al-Jabiri
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Abu Abid al-Jabiri
c. Konstruksi Penyelerasan Epistemologi Islam abu Abid al-Jabiri
d. Kritik Atas Penyelarasan Epistemologi Islam Abu Abid al-Jabiri
XI. Memperkenalkan Teori Teks Nasher Hamid Abu Zayd
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Hamid Nasher Abu Zayd
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Nasher Hamid Abu Zayd
c. Konstruksi Teori Teks Nasher Hamid Abu Zayd
d. Kritik Atas Teori Teks Nasher Hamid Abu Zayd
XII. Teori Dekonstruksi Syari’ah Abdullah Ahmed Anna’im
Kisi-kisi Materi:
a. Biografi Abdullah Anna’im
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Abdullah Anna’im
c. Konstruksi Teori Dekonstruksi Syari’ah Abdullah Ahmed Anna’im
d. Kritik Atas Teori Dekonstruksi Syari’ah Abdullah Ahmed Anna’im
XIII. Semantika AL-Qur’an Toshihiko Izutszu
Kisi-kisi Materi:
a. Biogarfi Toshihiko Izutszu
b. Latar Belakang Intelektual dan Karya-karya Toshihiko Izutszu
c. Konstruksi Teori Semantika al-Qur’an Toshihiko Izutszu
d. Kritik Atas Teori Semantika al-Qur’an Toshihiko Izutszu


C. FILSAFAT SOSIAL
I. Sejarah Kelahiran Kapitalisme Klasik
Kisi-kisi:
a. Latar Belakang Ekonomi Politik Kelahiran Kapitalisme
b. Kapitalisme dan Etika Protestan
c. Tokoh-tokoh Kapitalisme dan Konstruksi Pemikirannya
II. Kapitalisme dan Perubahan Dunia
Kisi-kisi:
a. Asumsi-asumsi Dasar Kapitalisme
b. Pertautan Kapitalisme Dan Kolonialisme Negara-Negara Kapitalis Internasional
c. Kesinambungan Kapitalisme Dengan Modernitas
III. Kapitalisme Lanjut (Internasional)
Kisi-Kisi:
a. Pembaharuan Dalam Konstruksi Kapitalisme
b. Kapitalisme Dan Masyarakat Post-Industri
c. Peran Informasi Dalam Masyarakat Pasca-Industri
d. Pertautan Globalisasi Dan Kapitalisme Internasional
IV. Negara-Negara Kapitalisme Internasional
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Munculnya Negara-Negara Kapitalis Internasional
b. Implementasi Kapitalisme Dalam Negara-Negara Kapitalisme Internasional
c. Krirtik Atas Model Penerapan Paradigma Kapitalisme Dalam Negara-Negara Kapitalisme Internasional
V. Kapitalisme Dan Negara-Negara Ketiga
Kisi-Kisi:
a. Identifikasi Negara-Negara Dunia Ketiga
b. Kapitalisme Negara-Negara Dunia Ketiga
c. Implikasi Paradigma Kapitalisme Terhadap Negara-Negara Dunia Ketiga
VI. Lembaga-Lembaga Pendukung Kapitalisme
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Munculnya Lembaga-Lembaga Pendukung Kapitaslisme
b. Lembaga-Lembaga Pendukung Kapitalisme Dan Fungsi Masing-MAsing
c. Kedudukan Lembaga-Lembaga Pendukung Kapitalisme Dengan Negara-Negara Kapitalisme Internasional Dan Dunia Ketiga
VII. Kritik Ideologi Atas Kapitalisme
Kisi-Kisi:
a. Kapitalisme Dan Blok-Blok Ekonomi
b. Kapitalisme Kesenjangan Ekonomi
c. Kapitalisme Dan Kesenjangan Politik Internasional
d. Kapitalisme Dan Kesenjangan Sosial Antar Negara
e. Kapitalisme Dan Kesenjangan Budaya Antar Bangsa
f. Kapitalisme Dan Kesenjangan Pengetahuan Dan Tekhnologi
g. Kapitalisme Dan Ekspresi Negara-Negara Berkembang
VIII. Kapitalisme Dan Indonesia (Kasus Era Rezim Orde Lama)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Dalam Era OrLa
b. Tokoh-Tokoh Kapitalisme OrLa
c. Paradigma Kapitalisme Dalam Orla
d. Kritik Atas Paradigma Kapitalisme Dalam OrLa
IX. Kapitalisme Dan Indonesia (Kasus Era Orde Baru)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Dalam Era OrBa
b. Tokoh-Tokoh Kapitalisme OrBa
c. Paradigma Kapitalisme Dalam OrBa
d. Kritik Atas Paradigma Kapitalisme Dalam OrBa
X. Kapitailsme Dan Indonesia (Kasus Era Transisi)
Kisi-kisi:
a. Sejarah Perkembangan Kapitalisme Dalam Era Transisi
b. Tokoh-Tokoh Kapitalisme Era Transisi
c. Paradigma Kapitalisme Dalam Era Transisi
d. Kritik Atas Paradigma Kapitalisme Dalam Era Transisi
XI. Sosialisme Dan Sejarah Kelahirannya
Kisi-Kisi:
a. Latar Belakang Ekonomi Dan Politik Kelahiran Sosialisme
b. Sosialisme Utopia
c. Teori Dealektika Hegel Dan Lahirnya Sosialisme
XII. Sosialisme/Marxisme
Kisi-Kisi:
a. Matrealisme Dealektika
b. Materalisme Historis
c. Pertentangan Kelas Dan Nilai Lebih
XIII. Marxisme Leninisme
Kisi-Kisi:
a. Revolusi Dalam Prespektif Marxisme Leninisme
b. Marxisme-Leninisme Dan Pengaruhnya Dalam Dunia Ketiga
c. Corak Marxisme-Leninisme Di Berbagai Negara
XIV. Sosialisme-Revisionisme
Kisi-Kisi Materi;
a. Pergeseran Sosialisme Pasca Berakhirnya Perang Dingin
b. Bentuk-Bentuk Sosialisme-Revisionisme
c. Sosialisme-Revisioniosme Di Negara-Negara Internasional
XV. Sosialisme Dan Indonesia (Kasus era Orde Lama)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Sosialisme Dalam OrLa
b. Tokoh-Tokoh Sosialisme Dalam OrLa
c. Paradigma Sosialisme Dalam OrLa
d. Kritik Paradigma Sosialisme Dalam Orla
XVI. Sosialisme Dan Indonesia (Kasus Era Orde Baru)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Sosialisme Dalam OrBa
b. Tokoh-Tokoh Sosialisme Dalam OrBa
c. Paradigma Sosialisme Dalam OrBa
d. Kritik Paradigma Sosialisme Dalam OrBa
XVII. Sosialisme Dan Indonesia (Kasus Era Transisi)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Dan Perkembangan Sosialisme Dalam Era Transisi
b. Tokoh-Tokoh Sosialisme Dalam Era transisi
c. Paradigma Sosialisme Dalam Era Transisi
d. Kritik Paradigma Sosialisme Dalam Era Transisi
XVIII. Kritik Atas Ideologi Sosialisme
Kisi-Kisi:
a. Hubungan Sosialisme Dengan Komunisme
b. Dampak Sosialisme Dan Komunisme Terhadap Agama
c. Sosialisme Dan Prespektif Terhadap Demokrasi
d. Runtuhnya Sosialisme-Komunisme
XIX. Islamisme Klasik Dan Sejarahnya
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Munculnya Islamisme
b. Tokoh Dan Model Gerakan Islamisme Klasik
c. Prinsip-Prinsip Islamisme Klasik
XX. Islamisme Modern
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Munculnya Islamisme Modern
b. Tokoh Dan Model Gerakan Islamisme Modern
c. Prinsip-Prinsip Islamisme Modern


XXI. Islamisme Dan Indonesia (Kasus Era Rezim Orde Lama)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Islamisme Dalam Era OrLa
b. Tokoh-Tokoh Islamisme Era OrLa
c. Paradigma Islamisme Dalam Era OrLa
d. Kritik Paradigma Islamisme Dalam Era OrLa
XXII. Islamisme Dan Indonesia (Kasus Era Rezim Orde Baru)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Islamisme Dalam Era OrBa
b. Tokoh-Tokoh Islamisme Dalam Era OrBa
c. Paradigma Islamisme Dalam Era OrBa
d. Kritik Paradigma Islamisme Dalam Era OrBa
XXIII. Islamisme Dan Indonesia (Kasus Era Rezim Transisi)
Kisi-Kisi:
a. Sejarah Perkembangan Islamisme Dalam Era Transisi
b. Tokoh-Tokoh Islamisme Dalam Era Transisi
c. Paradigma Islamisme Dalam Era Transisi
d. Krirtik Pardigma Islamisme Dalam Era Transisi
XXIV. Kritik Paradigma Islamisme
Kisi-Kisi;
a. Paradigma Islamisme
b. Kritik Atas Ambivalensi Antara Agama Dan Politik
c. Kritik Atas Keterbelahan Kesadaran Dalam Islamisme
d. Kritik Atas Gagasan Berdemokrasi, Bernegara Yang Utopia


D. ILMU-ILMU SOSIAL
No Topik
01 Memasuki Alam Pikir Ilmu-Ilmu Sosial
a. Sketsa historis munculnya teori sosiologi
b. Kawasan perkembangan sosiologi (Perancis, Jerman, Inggris, Italia)
c. Obyek kajian sosiologi (nalar antologis)
d. Cara berpikir teori sosial (logika dan metodologi)
e. Sistem, diferensiasi, stratifikasi, mobilitas, perubahan sosial dan beberapa kawasan kajian sosiologi
02 Tiga Paradigma dalam sosiologi
a. Fakta Sosial
b. Perilaku Sosial
c. Definisi Sosial
03 Pemikiran sosiologi Klasik
a. August Comte
1 Perspektif positivistik dalam sosiologi
2 Teori kemajuan Vs teori siklus perubahan
b. George Simmel
1 Munculnya masyarakat melalui interaksi timbal balik
2 Superordinasi dan subordinasi
3 Konflik dan kekompakan
4 Kreatifitas individu dan bentuk budaya mapan
c. Emile Durkheim : Teori Konsensus
1 Kenyataan fakta sosial dan Totemisme
2 Solidaritas dan tipe struktur sosial
3 Konflik: ancaman terhadap solidaritas
d. Max Weber : Teori Tindakan
1 Tindakan individu dan arti subyektif
2 Tipe-tipe tindakan sosial
3 Kritik: orientasi agama, pola motivasi dan rasionalisasi
e. Karl Marx : Teori Konflik
1 Rasionalisme historis Marx
2 Base-structure dan super-structure
3 Kegiatan dan alienasi
4 Kelas sosial, kesadaran kelas, dan perubahan sosial
04 Pemikiran sosiologi modern
a. Teori Fungsionalisme
1 Talcott Parson: teori sistem umum
2 Robert K. Merton : Fungsionalisme dan Struktur sebagai teori

b. Teori Konflik
1 Ralph Darrendorf: Usul tentang penjelasan sosial
2 Lewis Coser: mempertahankan struktur melalui konflik
3 Randall Collins: pengalaman sosial, cara pandang thd tingkah laku sosial, konflik, perubahan
c. Teori Interaksionisme Simbolik
1 Herbert Blumer: manusia dan makna
2 Erving Goffman: dramaturgi dan susunan interaksi
d. Teori Pertukaran Sosial
1 George Caspar Homans: dasar tingkah laku sosial
2 Peter Blau: pertukaran struktur sosial
e. Phenomenologi
1 Edmund Husserl
2 Alferd Schutz
3 Peter L. Berger
f. Etnometodologi Harold Garfinkel
g. Strukturalisme
h. Posmodernisme
i. Poskolonialisme

Selasa, 10 April 2012

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN BANGSA

OLEH: AFRIOGA FELMI SYARGAWI*

Bangsa indonesia akhir-akhir ini mengalami dekadensi moral yang amat parah, kalau boleh dibilang sudah memasuki tahap stadium empat. Mulai dari permasalahan hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, krisis kepemimpinan dan semakin merajalelanya praktek Korupsi yang dapat menghancurkan bangsa ini. Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi semakin membuka mata kita bahwasanya bangsa ini harus di beri obat yang mujarab dan ampuh untuk bisa menyembuhkan penyakit kronis tersebut. Pendidikan Karakter mungkin bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi semua permasalahan tersebut, alasan-alasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya dalam generasi muda kita, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mepertimbangkan kembali bagaimana lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi.


PENDIDIKAN KARAKTER SEBUAH TINJAUAN HISTORIS
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad-18. Terminologi ini biasanya mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial. Namun sebenarnya pendidikan karakter telah lama menjadi bagian inti sejarah pendidikan itu sendiri. Misalnya kita temukan dalam cita-cita paiedea yunani, humanitas romawi, perspektif islam dan pedagogi kristiani. Perkembangan ini pada gilirannya mengukuhkan dialektika sebagai sebuah bagian integral dari pendidikan karakter.


Lewat sokrates, pendidikan karakter di athena memiliki nuansa baru, sebab ia menemukan apa yang disebutnya sebagai â€Å“jiwa” sebagai hal yang sentral dalam hidup manusia. Memelihara â€Å“jiwa” inilah yang semestinya menjadi tujuan pendidikan agar manusia tetap memiliki kualitas dan keutamaan yang menjadi ciri khas hakikinya. Manusia adalah jiwanya, bukan kemampuan berbicara di depan umum. Begitulah sokrates memberikan visi baru tentang kemanusiaan. Pendidikan karakter terutama ditujukan pada pemeliharaan jiwa ini. Jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam jiwanya inilah kita memiliki kegiatan berfikir, bertindak, dan menegaskan nilai-nilai moral dalam hidupnya. Paradigma sokrates yang terkenal adalah ‘kenalilah dirimu sendiri’. Mengenali diri sendiri bukan sekadar berarti bahwa kita mengenal nama kita sendiri, melainkan lebih dari itu. Kita menyelidiki dimensi interioritas kita sebagai manusia. Kodrat manusia ada dalam jiwanya. Melalui Sokrates, areta yang sifatnya pada mulanya lebih politis berubah menjadi arete yang lebih interior yaitu dimensi moralitas manusia.


Dalam kerangka kehidupan politik, pendidikan karakter bagi plato adalah mencetak sosok pemimpin filsuf yang mampu memimpin negara. Untuk dapat memimpin negara dengan baik dan adil, pemimpin harus tahu tentang kebaikan dan keadilan. Tujuan pendidikan bagi plato terutama adalah membawa manusia pada kehidupan kontemplatif, yaitu saat terjadi kesatuan antara apa yang baik dan benar. Untuk dapat mengkontemplasikan kebenaran, ia mampu menggabungkan tiga kenyataan penting yang ada dalam diri manusia yaitu, negara, kebahagiaan dunia, dan kebahagiaan yang mengatasi dunia ini. Tiga hal integral inilah yang menurut dia menjadi â€Å“jiwa” bagi setiap manusia. Jika manusia ingin memelihara jiwanya, ia mesti memelihara tiga hal ini. Idealisme kebaikan dan pendidikan keutamaan dalam visi plato hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan dengan semua warga untuk membangun sebuah masyarakat yang demokratis, didalamnya kebaikan dan keadilan menjiwai setiap kehidupan politik dan individual warga negara. Tanpa kontekstualisasi dalam kehidupan politis, perilaku bermoral apapun hanya akan memiliki corak dimestik. Justru nilai-nilai moral, keutamaan jiwa inilah yang mesti tampil dalam kehidupan bersama dalam sebuah negara yang didalamnya setiap orang dapat bertindak secara bebas dan bertanggung jawab terhadap kehidupan manusia yang lain.


Sebagaimana halnya plato, Al-Ghazali percaya bahwa manusia memiliki dorongan nafsu makan, marah dan berfikir. Masing-masing potensi tersebut memiliki karakter dan prinsip yang orisinal. Dorongan nafsu makan misalnya muncul dari sifat birahi, perasaan marah muncul dari hawa nafsu yang garang, dan daya intelek muncul dari unsur ketuhanan yang merupakan nalurinya. Al-Ghazali berpegang pada pandangan bahwa manusia memiliki dua aspek yaitu fisik dan spritual. Budi pekerti berhubungan dengan aspek spiritual. Selanjutnya bentuk akhlak bergantung pada kecendrungan baik yang dilakukan karena sengaja atau tidak sengaja. Masalah penting lainnya yang mempengaruhi akhlak adalah pemikiran bahwa semua manusia dilahirkan dengan membawa kekuatan mental yang dapat menolongnya untuk memperoleh pengawasan terhadap semua elemen naluri yang dimiliki manusia seperti rasa menyombongkan diri dan kecintaan terhadap materi. Elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan yang amat besar, oleh karenanya manusia membutuhkan usaha yang keras untuk mendapatkan kesempurnaan budi pekerti.


PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di indonesia. Beberapa pendidik indonesia modern yang kita kenal seperti, R.A Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh Natsir dll. Telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami.


Pendidikan karakter memang timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan nasional kita. Adakalanya pendidikan karakter menjadi primadona menjadi mata pelajaran khusus, dan kemudian menjadi dimensi yang menyerambahi seluruh mata pelajaran, ada kalanya pendidikan karakter diintegrasikan dengan pendidikan agama, pendidikan moral pancasila atau pendidikan akhlak mulia. Namun ada juga saat dimana pendidikan karakter sama sekali hilang dalam kurikulum kita. Pendidikan karakter tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk diajarkan. Mengapa para pemikir bangsa yang menjadi pelopor pergerakan nasional berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru bagi sebuah proses pembentukan bangsa dan pembentukan manusia indonesia, jawabannya adalah karena mereka memiliki cita-cita, idealisme untuk membangun manusia dan masyarakat indonesia baru. Dasar idealisme ini adalah nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama dan nilai-nilai pengetahuan yang pada saat ini telah luntur dalam jiwa para pemimpin kita. Mungkin jika para foundingfather kita menangis jika bisa melihat apa yang terjadi dan apa yang telah dilakukan anak cucunya di negeri ini karna tidak sesuai dengan cita-cita luhur mereka ketika memperjuangkan negara ini. Titik pijak akan nilai-nilai inilah yang menggolongkan mereka menjadi pemikir idealis yang menjadi jiwa bagi pendidikan karakter sebuah bangsa. Penulis berharap dengan pendidikan karakter akan muncul pemimpin-pemimpin baru yang idealis, berkarakter, dan mampu mencari solusi bagi setiap permasalahan bangsa ini..semoga


Jakarta, 10 juli 2011
*Penulis adalah Wakil Bendahara Umum PB PMII dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Membumikan NDP PMII; Usaha Mempertahankan Pancasila

oleh: abdul rokhim dalam pmii.or.id

Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mulai dari terbentuknya Negara Republik (baca: proklamasi), mahasiswa menjadi inisiator utama, seperti Soekarno, M. Hatta, dan lain-lain, sampai pada runtuhnya orde baru. Sekali lagi, mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia .
Pasca Orde Baru.

Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Negara, Indonesia tidak pernah lepas dari konstelasi dunia (global). Dalam sejarah Indonesia, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia sering dikendalikan oleh wacana “asing” yang (terkadang) berwatak imperialistik. Bangsa Indonesia sering dijejali dan atau terpukau dengan wacana dari “luar” yang (lagi-lagi terkadang) membuat Indonesia masuk dalam lingkaran hegemoni. Lebih lanjut lagi, persoalan ini memang bukan sekedar dikotomi antara “Barat” dan “Timur”, yang berwatak dangkal dan picik. Akan tetapi, adalah persoalan bahwa wacana tersebut yang (kebetulan) berasal dari “Barat” itu sering berefek menjajah atau menelikung.
Indonesia lantas tidak sekedar masuk dalam lingkaran wacana (Barat) yang menggerus dirinya. Akan tetapi, juga masuk dalam cengkraman imperialisme global yang sangat hegemonik. Indonesia dijajah dan dikendalikan, misalnya dari aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi, kebudayaan dan seterusnya.

Selain itu, dari sudut pandang ideologis (khususnya), Indonesia beberapa tahun belakangan menjadi “kalang kabut”, sebut saja persoalan (baca: wacana) HAM dan Agama, issue tran-nasional yang kemudian sangat berdampak besar bagi keutuhan NKRI. Akhirnya, sebagai dampak dari itu, pancasila pun sebagai ideology Negara “sedikit” tergoncang eksistensinya (baca: keberadaannya).

Dari berbagai permasalahan yang terjadi, bangsa Indonesia, akhirnya –diakui ataupun tidak- sedikit kehilangan karakter berkebangsaannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pergulatan ideologis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (rasikalisme dan liberalism) mulai dari semangat membentuk Negara Islam (baca: Khilafah Islamiyah) oleh beberapa kelompok sampai pada pengahapusan pancasila sebagai ideologi Negara. Termasuk juga hilangnya karakter nasionalisme dalam diri (sebagian) tokoh politik di Indonesia.
Mengapa demikian? Dampak dari pergulatan tersebut, kemudian menjadikan masyarakat Indonesia (dunia pada umumnya) bersikap pragmatis, hedonis, dan berfikir positivistic-materialistik. Sehingga, “kejahatan” politik kemudian menjadi perihal yang permisif, sebut saja, korupsi yang merupakan kejahatan HAM.

PMII dan Keutuhan Pancasila; Membumikan NDP PMII
Adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang merupakan organisasi keislaman yang berbasis pengkaderan dan bersifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan, kemasyarakatan, independensi dan professional , (seharusnya) mempunyai peranan penting dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara yang kemudian menjadi landasan dalam membentuk karakter bangsa.
Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, perlu memperoleh perhatian khusus oleh para aktivis mahasiswa, khususnya PMII yang memang memiliki kerangka atau acuan dalam segala aktivitas gerakan yang dilakukan (baca: NDP).
Kerangka acuan tersebut harus menjadi titik pijak gerakan dalam menghadapi berbagai permasalahan, termasuk dalam membentuk karakter berkebangsaaan.

Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang notabene menjadi ideologi alternatif dalam mengimbangi laju globalisasi, agar tercipta tatanan yang seimbang “tanpa tekanan dan dominasi”. Keberadaan Aswaja –sebagai ideologi yang ditawarkan- bisa mengadaptasi dengan situasi dan kondisi. Terntunya, segala langkah perubahan yang diambil harus tetap berlandaskan pada paradigm kaidah al-Muhafadzatu ala Qodim al-Sholih wa al-akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah, (meyamakan langkah dengan mempertahankan sebuah tradisi yang kondisinya masih baik dan relevan dengan masa kini atau berkolaborasi dengan nilai-nilai baru yang kenyataannya pada era kekinian dan masa mendatang akan lebih baik).
Sementara Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII yang merupakan rumusan nilai-nilai yang diturunkan secara langsung dari ajaran Islam serta kenyataan masyarakat dan negeri Indonesia, dengan kerangka pendekatan Ahlussunnah wal-Jama’ah. NDP harus senantiasa menjiwai seluruh aturan organisasi, memberi arah dan mendorong gerak organisasi, serta menjadi penggerak setiap kegiatan organisasi dan kegiatan masing-masing anggota. Sebagai ajaran yang sempurna, Islam harus dihayati dan diamalkan secara kaffah atau menyeluruh oleh seluruh anggota dengan mencapai dan mengamalkan Iman (aspek aqidah), Islam (aspek syari’ah) dan Ihsan (aspek etika, akhlak dan tasawuf.
Sebagai tempat hidup dan mati, negeri maritim Indonesia merupakan rumah dan medan gerakan organisasi. “Di Indonesia organisasi hidup, demi bangsa Indonesia organisasi berjuang”.

Sebagai tempat semai dan tumbuh negeri Indonesia telah memberi banyak kepada organisasi. Oleh sebab itu, organisasi dan setiap anggotanya wajib memegang teguh komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. NDP adalah penegasan nilai atas watak keindonesiaan organisasi.

NPD PMII yang di dalamnya terdapat nilai ketuhanan (Tauhid), nilai ke-hamba-an sebagai seorang makhluk yang berelasi dengan penciptanya (Hablun minallah), nilai humanism (Hablun minannas), dan nilai kecitaan terhadap alam dan tanah air (hablun minal alam). Dan Ahlussunnah wal Jama’ah digunakan sebagai pendekatan berpikir (Manhaj al-Fikr) untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Pilihan atas Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pendekatan berpikir dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam merupakan keniscayaan di tengah kenyataan masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal nilai kemerdekaan (al-Hurriyah), persamaan (al-Musawah), keadilan (al-’Adalah), toleransi (Tasamuh), dan nilai perdamaian (al-Shulh), maka kemajemukan etnis, budaya dan agama menjadi potensi penting bangsa yang harus dijaga dan dikembangkan. (Sekali lagi) terlebih dalam rangka menjaga eksistensi pancasila di bumi Nusatara.

Harapan: PMII for Nusantara

Keberadaan PMII sebagai organisasi yang dapat menciptakan sub-cultur di tataran mahasiswa, tentunya dengan landasan tersebut, diharapkan dapat menjadi solusi atas keutuhan dan eksistensi pancasila. Baik dari tantangan imperialisme globalisasi maupun pergulatan ideologi trans-nasionalisme yang hari ini sangat “mengganggu” bangsa Indonesia.

Dengan nila-nilai tersbut pula, PMII dapat menjadi “satu-satunya” oraganisasi yang bisa membentuk karakter nasionalisme-kultural. Artinya, karakter yang dibentuk oleh PMII, kemudian dapat membentuk karakter yang secara social-agama dapat dipertanggungjawabkan segala tingkah lakunya (baca: perbuatannya) seperti yang termaktub dalam Tujuan PMII “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia .”

Akhirnya, dengan terbentuknya karakter tersebut, maka (sekali lagi) eksistensi Pancasila sebagai ideologi Negara tidak akan pernah terganggu oleh berbagai macam gerakan. Semoga refleksi ini dapat tercapai sesuai dengan konteks serta realistis.


**Khodim PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil Komisariat Sunan Ampel Malang

Kamis, 29 Maret 2012

PC PMII Purworejo Tolak Kenaikan Harga BBM

Puluhan anggota PC PMII Purworejo Senin (26/3) menggelar aksi demo menolak rencana pemerintah menaikan harga BBM. Aksi dimulai dari depan masjid Agung Purworejo sekitar pukul 11.00. Pendemo kemudian bergerak menuju gedung DPRD Purworejo untuk menyampaikan aspirasinya.

Usai menyampaikan aspirasi, mereka berjalan kaki ke utara dan berhenti di tugu Adipura alun-alun Purworejo sebelah timur. Ditempat ini para pendemo bergantian berorasi dan melakukan aksi tetaterikal serta membakar ban bekas. Menurut PC PMII, BBM merupakan bahan pokok bagi perekonomian masyarakat di seluruh negeri. Karena itu sebagai organisasi kemahasiswaan yang peduli dengan kebijakan pemerintah menolak rencana pemerintah yang rencananya akan menaikan harga BBM bersubsidi per satu April 2012.

Menurut mereka, kenaikan harga BBM pada akhirnya hanya akan menyengsarakan rakyat kecil. Sedang program BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) bukanlah suatu solusi karena sarat dengan politisasi. Lebih jauh dikatakan, pemerintah sangat jelas tidak melihat penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Rakyat sudah muak dengan tingkah laku para elit penguasa yang telah semena-mena dalam mengambil kebijakan.

Saat ini, lanjut PC MII Purworejo, dibenak rakyat sudah sangat akrab dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elit politik dan sangat merugikan negara. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketidak mampuan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Padahal, negara ini mempunyai sumber-sumber minyak sangat melimpah yang justru sebagian besar dikuasai oleh korporasi asing.

Maka dengan adanya hal tersebut dengan tegas PC PMII Purworejo menyatakan sikap, menolak kenaikan BBM, revitalisasi sumber minyak yang dikuasai oleh korporasi asing, tegakkan supermasi hukum, tuntaskan kasus-kasus korupsi yang merugikan negara, dan turunkan SBY-Budiono karena telah gagal mensejahterakan rakyat Indonesia. Usai menyampaikan orasi dan aspirasinya para pendemo kemudian membubarkan diri

by bangkit wardoyo@ ktjogja

Selasa, 10 Januari 2012

Taat

[B]Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily[/B]

Janganlah seseorang menunda ketaatan pada waktunya, hingga ia kehilangan taat pada waktunya. Atau karena ketaatan lain yang sepadan, yang turut tertunda, dengan alasan sebagai tebusan atas waktu yang ditentukan tersebut.

Sebab masing-masing waktu memiliki bagian dalam ubudiyah yang telah ditentukan Allah Swt. pada diri anda melalui aturan Rububiyyah.

Saya pernah berkata pada diri sendiri, “Abu Bakar ash-Shiddiq menunda witir hingga akhir malam...” Tiba-tiba muncul suara dalam tidurku, “Tindakan itu adalah kebiasaan yang berlaku dan sunnah yang ditetapkan, dimana Allah telah menetapkannya atas kebiasaan tersebut disertai pelestariannya. Lalu bagaimana dengan Anda (melakukan tindakan seperti itu) sementara ada kecenderungan untuk bersantai-santai dan menikmati keinginan nafsu? Sungguh jauh berbeda! Anda cenderung untuk masuk dalam berbagai penyimpangan; dan alpa dari musyahadah? Sungguh jauh berbeda!”

Lalu akhirnya kukatakan pada diri sendiri: “Apakah ini aturan atau rintangan?”

Lalu suara itu berkata lagi, “Suatu aturan yang relevan dengan adab dan peringatan bagi kealpaan. Itu merupakan wasiat bagi diri Anda, dan wasiat dari Anda untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ingatkan akan hal itu, dan Anda jangan tergolong orang-orang yang alpa.”

Pernah, suatu kali muncul pertanyaan padaku. “Apa yang bisa engkau ambil faedah ketika taat kepada-Ku, dan apa pula ketika maksiat kepada-Ku?”

Lalu kujawab, “Aku mengambil tambahan ilmu dan cahaya yang memancar serta kecintaan, dengan adanya ketaatan. Dan aku mengambil faedah maksiat berupa rasa gelisah, susah, takut dan harapan.”

Dalam salah satu hadis qudsi disebutkan: “Barang siapa taat kepada-Ku dalam segala hal, maka Aku melimpahkan ketaatan padanya dari segala hal.”

Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat dalam segala hal melalui hijrahnya dalam segala hal, maka Aku melimpahkan kepatuhan dalam segala hal, dengan cara Aku tampakkan Diri-Ku padanya di dalam segala hal, sehingga seakan-akan ia melihat-Ku dalam segala yang ada.”

Inilah bentuk keharusan orang-orang saleh yang awam.

Sedangkan bagi orang khawash, ketaatan mereka adalah terputus dari mereka (makhluk) dengan menghadap pada segala yang ada ,disebabkan karena kebajikan Kehendak Tuhannya dalam segala yang ada ini. Seakan-akan Dia berfirman: “Barang siapa taat kepada-Ku bersama segala yang ada dengan menghadapkan dirinya pada segala sesuatu, karena kebaikan Kehendak-Ku pada segala sesuatu, maka Aku limpahkan ketaatan padanya dalam sesuatu itu, dengan cara Aku Tampakkan Diri-Ku padanya di sisi segala yang ada, sehingga ia melihat-Ku lebih dekat kepadanya dibanding segala yang ada ini.”

Hendaknya engkau sekalian menetapi prilaku lima kesucian.

Adapun lima kesucian dalam tindakan antara lain:

[#]Bebas diri dari (merasa) berdaya dan berupaya dalam segala situasi,[/#]
[#]Konsentrasi —melalui akal Anda— pada makna-makna yang tegak dengan hati.[/#]
[#]Keluarkan dirimu dari kedua tindakan tersebut menuju (hanya) kepada Allah Swt.[/#]
[#]Dan ingatlah Allah, maka Allah akan menjagamu, dan ingatlah Allah, maka Allah akan engkau temukan di depanmu.[/#]
[#]Sembahlah Allah melaui tindakan itu dan jadilah engkau tergolong orang-orang yang bersyukur.[/#]

Sementara lima kesucian dalam ucapan adalah: Subahanallah, wal-Hamdulillah, wallaahu Akbar, walaa Haula walaa Quwwata illa biLlaah.

Termasuk lima tindakan suci adalah: Shalat lima waktu; dan pembebasan diri dari upaya dan daya kekuatan, yakni dalam ucapan Anda: “Laa Haula walaa Quwwata illa BilLaah.”